Seiring pesatnya perkembangan
teknologi nirkabel, sosial media pun hadir, menawar sebuah lingkungan maya
dimana orang–orang dapat bergaul dari segala belahan bumi tanpa perlu bertemu
langsung. Kehadiran social media memungkinkan orang–orang dapat berkomunikasi
dengan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Pergaulan seperti ini, irit
biaya dan irit waktu. Hal ini sungguh bermanfaat karena dewasa ini, tuntutan
hidup yang semakin keras membuat orang semakin sibuk. Banyak orang mulai
mengeluh kewalahan mengatur waktu. Dan banyak hal semakin mahal. Sosial media
membantu kita tetap terhubung dengan orang di kejauhan secara praktis tanpa
perlu menghabiskan biaya sebesar jika kita pergi menemui orang itu. Ongkos
transportasi nirkabel selalu berkali lipat lebih murah dibandingkan ongkos
transportasi umum, semisal bis atau pesawat menuju suatu tempat.
Sosial media memungkinkan terbentuknya
jaringan pergaulan yang lebih luas. Kelebihannya, informasi dapat dibagi dan
diketahui. Adanya jaringan pertemanan memungkinkan kesalahan informasi bisa
segera dikoreksi. Orang–orang juga bisa bertukar pikiran tentang sebuah topik
yang disampaikan atau bisa saling membantu untuk mengatasi sebuah persoalan.
Saya termasuk pengguna social media
yang aktif. Saya memakai facebook, tweeter dan BBM (Blackberry Messenger). Saya
menyukai moto yang diusung facebook; ‘facebook
helps you to connect with people in your life’. Sejauh ini, facebook memang
membantu saya untuk terhubung dengan orang–orang dalam kehidupan saya. Saya
bisa berjumpa dengan banyak kawan lama saya lewat media ini. Karena itu, saya
tak sembarang mengkonfirmasi undangan berteman, kecuali seseorang itu saya
kenal, atau terkait dengan orang yang saya kenal benar (demi membuka jaringan
pertemanan yang lebih luas). Saya juga menemukan ruang lain untuk menulis
setelah saya mulai berjauhan dengan majalah dinding atau ketika saya malas
dengan publikasi di Koran lokal. Facebook memungkinkan saya berekspresi sebebas–bebasnya,
memungkinkan orang menyantap buah pikir saya dan memberi respon terhadap buah
pikir itu. Semua dimungkinkan dalam hitungan waktu yang segera, nyaris sekejab.
Saya juga menggunakan tweeter demi
informasi dari akun beberapa Koran nasional, penerbit buku tertentu, penulis–penulis
favorit saya atau beberapa tokoh ternama, akun – akun yang menawar informasi
yang berkolerasi dengan hal – hal yang saya minati atau yang mendukung
pekerjaan saya dan tentu saja berhubungan dengan beberapa teman dekat yang
menggunakan tweeter.
Bagi saya, sosial media disamping
memberikan kita informasi, juga membuka kesempatan bagi kita untuk berlatih
menyampaikan pikiran kita dari bahasa lisan ke bahasa tulis. Sosial media bisa
menjadi sarana bagi mereka yang introvent untuk membuka diri. Karena melepaskan
yang hanya tersembunyi dalam benak merupakan salah satu langkah membebaskan
diri dari ketertekanan.
Tanpa disadari, bagi banyak orang, wall facebook atau tweeter, atau BBM
kemudian menjadi tempat curhat. Saya melihat, kebanyakan tulisan
mempublikasikan reaksi–reaksi impulsive
seseorang. Sekejab seseorang marah, sekejab menjadi status. Sekejab seseorang
gembira, sekejab menjadi status. Maka kita pun karib dengan status–status
sepele seperti seseorang sakit perut atau seseorang baru keluar dari kamar
mandi. Bahkan kita bisa karib dengan the
ordinary day of somebody. Ada keterbukaan yang memindahkan komunikasi
dengan diri sendiri (membatin atau bicara dalam hati) ke sosial media. Misalnya,
tanpa sosial media, kau akan bekeluh sendiri saat kau sakit perut. Di sosial
media keluhan itu dibatinkan sekaligus ditulis dan terpublikasi.
Hal itu bagi saya tidak bisa secara
praktis ditanggapi sebagai memamerkan eksistensi atau menelanjangkan diri
secara sengaja ke orang lain. Tapi adakalanya karena seseorang begitu terlanjur
biasa atau (lebih berbahaya lagi) telah berjiwa dengan sosial media hingga membatin
diserentakkan dengan mengetik sesuatu untuk dipublikasikan. Ini bisa terjadi
ketika ponsel menjadi begitu karib hingga menjelma nadi bagi seseorang. Akhirnya,
sosial media membawa bahaya dimana seseorang menjadi begitu telanjang untuk
dikenali.
Apakah hal itu tidak benar? Bagi saya
itu relatif. Biar bagaimana pun manusia adalah makhluk yang unik, manusia
adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial. Eksistensi manusia
dimungkinkan dengan relasinya dengan sesama. Keterlibatan di sosial media adalah
salah satu bentuk keterlibatan seseorang dengan orang lain. Saya sendiri lebih
menanggapinya dengan memaklumi status – status tersebut dengan alasan yang
sudah saya jabarkan sebelumnya. Meski begitu, perlu ada kebebasan bertutur yang
bertanggung jawab di sosial media. Keterbukaan yang tak terkontrol bisa
berpotensi menimbulkan konflik.
Sosial media menyediakan lingkungan
maya untuk bergaul. Sama seperti di lingkungan nyata, interaksi manusia
memungkinkan benturan–benturan tertentu. Salah tulis, keceplosan menulis,
penggunaan bahasa yang kasar, dan kekilafan–kekilafan lainnya menjadi sama
dengan salah ucap, keceplosan ucap, atau kekilafan–kekilafan dan
ketidakbertanggungjawaban bertutur lainnya. Maka kita bisa menemukan
pertengkaran di sosial media atau konflik dalam kehidupan nyata yang tergagas
dari sosial media atau dibawa ke sosial media.
Maka bersosial media seyogyanya
memiliki keanggunan sebagaimana kita bergaul dalam kehidupan nyata. Tidak ada
kebebasan yang sungguh penuh. Ketika terlalu penuh, kita melesatkan diri dalam
situasi tak terkontrol. Dalam ruang menulis di sosial media yang begitu
terbatas karakter, intensitas publikasi memungkinkan kita menjejak aktivitas
seseorang bahkan membaca karakternya. Sehingga kita perlu cerdas dalam bergaul
di lingkungan maya itu. Setiap orang punya penerimaan yang berbeda terhadap
sesuatu, sehingga kita perlu berhati–hati dalam menuliskan sesuatu sebagaimana
kita perlu berhati–hati dalam relasi di kehidupan nyata. Kenyamanan kita dalam
bersosial media juga tergantung dari bagaimana kita menyikapi publikasi –
publikasi orang.
Sosial media adalah lingkungan maya
yang memungkinkan kita bergaul dan memperoleh informasi lewat sebuah jaringan
yang lebih luas. Lingkungan ini tidak bisa kita pakai untuk sungguh menilai
seseorang. Keterlibatan kita dengan seseorang dalam kehidupan real-lah yang bisa membuat kita sungguh
menilai seseorang. Tidak sedikit orang salah menggunakan sosial media untuk
penipuan. Interaksi di dunia nyata memungkinkan kita melihat gesture seseorang untuk menilai
kejujurannya. Banyak hal palsu ditampilkan di sosial media sehingga kita perlu
cerdas menanggapi segala yang tampil di sosial media.
Saya pribadi melihat sosial media
sebagaimana sebuah tempat hiburan, katakanlah diskotek. Tempat itu riuh dan
penuh dengan orang – orang yang ingin rehat sejenak dari kesibukannya. Disana
banyak orang berkumpul untuk bergembira. Terkadang kami minum – minum lalu
melepas yang kami batini. Saya memilih tak percaya penuh pada seorang pun,
kecuali yang telah saya kenal benar di luar tempat itu. Jika ada yang saya
kenali lalu berceloteh hal yang menyakitkan, saya anggap orang itu sedang
mabuk. Saya memilih tidak menanggapi selama ia tidak mengangkat kepalnya dan
meninju hidung saya sampai berdarah. Saya memaklumi ada kebiasaan yang
mendorong membatin serentak terjadi bersama menulis. Tapi pemakluman itu tak
lantas membuat saya membenarkan ketidakbertanggungjawaban/ketidakcerdasan
seseorang dalam menuliskan sesuatu. Sebagaimana, ketika dua orang mabuk
berkelahi di diskotik urusan bisa berlanjut di luar tempat itu. Sehingga
tidakkah pengendalian diri perlu? Atau tidakkah seseorang perlu menjaga diri?
Manfaatkanlah sosial media dengan
lebih bertanggung jawab. Sekalipun impulsif mengetik yang terbatin di diri
sendiri, bacalah kembali sebelum mem-posting-nya.
Pikirkan penerimaan orang lain. Hati – hati dengan penelanjangan yang kemudian
jadi bumerang bagi diri sendiri.
Akhirnya, selamat menikmati pergaulan
di sosial media dan terima kasih sudah mau membaca tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar