Rabu, 28 Maret 2012

Gelar Kesarjanaan, Idealisme, dan Tanggung Jawab


Pagi 3 Maret 2012, masih di atas tempat tidur, saya membaca sebuah berita yang menarik di kompas.com; FMIPA Universitas Diponegoro berubah nama menjadi Fakultas Sains dan Matematika (FSM). Salah satu alasan pergatian nama karena saat ini nama FMIPA tidak populer di dunia internasional, sehingga menyulitkan dalam berkomunikasi dalam rangka pengembangan institusi dan sering menimbulkan salah persepsi.  Alasan lain, pemerintah saat ini tidak lagi menggunakan istilah IPA di lingkungan pendidikan dasar dan menengah. Bahkan gelar kesarjanaan di perguruan tinggi adalah Sarjana Sains (S.Si).
Menurut Dr. Muhammad Nur, dekan FSM Undip, dalam era global terminologi FMIPA hampir tidak digunakan oleh perguruan tinggi di dunia. Hanya sedikit perguruan tinggi di Belanda yang masih menggunakan terminologi FMIPA. Penggunaan FMIPA di Indonesia disinyalir karena dipengaruhi oleh terminologi yang berlaku di Belanda. Penggunaan terminologi FMIPA tersebut, disinyalir membentuk opini masyarakat bahwa alumni fakutas ini mempunyai kesempatan yang terbatas di dunia kerja. Ada anggapan bahwa alumni FMIPA akan berkarya sebagai guru, dosen, dan peneliti.

Berita ini menarik karena saya seorang S.Si dan pernah mengalami proses pergantian nama fakultas tempat saya belajar. Saya jadi ingat, ketika FMIPA Undana di-merger dengan Fakultas Teknik menjadi Fakultas Sains dan Teknik (FST). Merger ini hanya secara administratif tidak secara keilmuan. Karena itu ada dua gelar sarjana dari fakultas ini yang sains menghasilkan Sarjana Sains (S.Si) dan teknik menghasilkan Sarjana Teknik (ST).

Selalu ada persepsi dalam masyarakat tentang gelar kesarjanaan. Yang ingin saya bahas adalah S.Si yang kebetulan saya sandang. Gelar ini terasa amat membanggakan ketika saya masih fresh graduated. Namun saya agak kesal karena sebagian orang menyamakan saya dengan lulusan program studi MIPA dari FKIP. Mereka pikir kami akan (terbatas) menjadi pendidik seperti para alumni FKIP. Padahal banyak peluang karier yang dimungkinkan bagi seorang sarjana sains. Hal ini membuat saya enggan menerima tawaran mengajar tak sebatas untuk mempertegas orientasi gelar kesarjanaan saya yang tidak terbatas pada dunia pendidikan, tapi lebih dari itu untuk menjaga idealisme saya terhadap gelar kesarjanaan saya. Dalam benak, saya mengidamkan profesi analis. Maklum, selama empat tahun sebagai mahasiswa jurusan kimia, saya dan teman – teman sejurusan terlalu akrab dengan laboratorium. Hal ini membuat sarjana kimia selalu merindukan lab ketika telah menjadi alumni.

Namun seusai wisuda, setiap alumni menambah daftar pengangguran di Indonesia. Peluang kerja tak sebanding dengan jumlah alumni. Kita tidak bisa menjadi terlalu idealisme. Kita harus jauh lebih realistis. Selalu ada stres pasca alumni yang dipicu ketiadaan aktivitas, susahnya mencari pekerjaan, dan berkurangnya sokongan finansial dari orang tua. Kalau sudah begini, menjadi realistis lebih penting daripada tetap mempertahankan idealisme.

Jadi, saya tidak duduk manis di rumah dan kewalahan mencari pekerjaan yang sangat berhubungan dengan latar belakang ilmu yang saya dalami selama kuliah. Maka, my ordinary day, dipenuhi aktivitas membaca loker (lowongan kerja) lalu menulis dan mengirim surat lamaran. Entah telah berapa banyak surat lamaran telah saya kirimkan. Yang pasti setiap kali ada loker yang butuh S.Si kimia atau S1 segala jurusan, pasti saya turut berpartsipasi. Selama enam bulan saya jatuh bangun dengan tes dan wawancara kerja disana sini. Sebelum akhirnya berkesempatan menjadi guru selama setahun dan akhirnya bisa bekerja di tempat kerja sekarang yang syukurnya masih berhubungan dengan ilmu yang saya dalami.

Mendapatkan pekerjaan itu tak hanya bergantung pada sebagus apa prestasi akademismu. Kau mesti pandai menangkap peluang. Sebagian orang mungkin amat beruntung jika kepandaiannya menjadi magnet pendatang pekerjaan. Tapi ada terlalu banyak orang berijazah yang IPK tingginya tak sanggup menjadi magnet pekerjaan bagi dirinya. Dengan sedikitnya peluang kerja yang tersedia, ada hal – hal yang sama pentingnya dengan IPK yang tinggi untuk mendapatkan pekerjaan. Maka menjadi hal yang lumrah ketika koneksipun memegang salah satu peranan penting untuk mendapatkan pekerjaan.

Bagi saya, setiap gelar kesarjanaan tak hanya membanggakan tapi menjadi beban besar bagi pemiliknya. Ketika menjadi alumni, masyarakat menganggapmu sebagai manusia serba tahu tak peduli seberapa terbatasnya pengetahuanmu terhadap ilmumu dan pengetahuan – pengetahuan lain. Karena itu, semasa sekolah janganlah mengejar nilai semata. Prestasi akademis tak hanya terukur dari nilai. Kau harus cukup berpengetahuan. Kau harus mencintai ilmu yang kau pelajari. Kecintaan ini akan menimbulkan rasa tanggung jawab, kau akan lebih jujur, tidak terjebak pada usaha – usaha tak terpuji demi kepraktisan memperoleh nilai tinggi. Setelah menjadi alumni nilai tinggi akan menjadi beban yang harus kau pertanggung jawabkan di masyarakat.

Selain itu, pekerjaan itu sebuah panggilan hidup. Apapun gelar kesarjanaan yang kita sandang kadang ladang tempat pengabdian kita bisa bertolak belakang dengan tuntutan idealis dari kesarjanaan itu. Akan lebih baik jika kita tidak menutup peluang terhadap banyak hal baik yang datang kepada kita. Jadi, menjadi realistis itu penting, sama pentingnya dengan menjadi idealis. Tapi jangan pernah mengusahakan sesuatu yang memburukkanmu dan memaklumkannya sebagai bagian dari usaha menjadi realistis. Kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup tak pernah bisa ditakar dengan uang karena itu jangan menjebak diri untuk menjadi buruk.  

Di penghujung tugas bersekolah seorang manusia, ia akan bertarung untuk memenuhi segala tuntutan hidup. Tapi bekerja tak semata bertujuan untuk mendapatkan uang demi mengisi perut atau demi tingkatan hidup yang lebih baik dalam kehidupan sosial. Bekerja juga sebuah panggilan hidup. Setiap orang akan dipercayakan ladang tempat ia menggarap. Di sana, yang diterapkan tak semata ilmu yang sudah didalami selama masa sekolah, tapi juga penghayatan terhadap banyak nilai positif dari ilmu tersebut. Kadang apa yang dihadapi di tempat kerja jauh lebih berat daripada apa yang kita dapat selama berada di lembaga – lembaga pendidikan. Tapi setiap ilmu, mengandung sari – sari nilai positif sebuah kehidupan. Orang yang mencintai ilmunya akan memiliki rasa hormat dan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan. Bagaimanapun, sebuah pekerjaan berorientasi pada kemajuan sebuah masyarakat yang lebih luas, tak sebatas pada kehidupan individual seorang manusia.

Menjadi idealis pada ilmu tak semata harus bekerja sesuai bidang ilmu yang didalami. Tapi mengambil nilai – nilai positif dari ilmu tersebut dan menerapkannya. Jika merenung lebih jauh, tentu setiap teori mengandung nilai – nilai filosofis. Lembaga pendidikan tidak hanya menjejal kita dengan ilmu. Tanpa sadar pola pikir kita terlatih dan terbentuk dari proses – proses berpikir selama masa sekolah.

Dimana kita sekarang, apapun yang sedang kita geluti. Tanamkan kepercayaan diri dan tanggung jawabmu disitu. Kau akan lebih berbahagia. Menikmati pekerjaan lebih menggembirakan daripada mengeluhkannya. Selalu ada banyak tantangan untuk menjadi besar. Pekerjaan adalah bagian dari misi perutusan dalam setiap penciptaan manusia.

Selamat bekerja. Semangat selalu.

Jumat, 02 Maret 2012

Sebuah Catatan Pribadi Tentang Perfume: The Story of a Murderer - Patrick Suskind



Pengarang
:
Patrick Süskind
Penerbit
:
Dastan Book
316 halaman
14 x 20,5 cm
Jakarta, 2009


Pertama kali mendengar tentang novel ini pada tahun 2007, ketika saya sedang sibuk mempersiapkan proposal untuk tugas akhir. Saya begitu penasaran setelah membaca berbagai sinopsip dan resensi tentang novel ini. Saya mengejar novel ini dalam kemiskinan saya sebagai seorang mahasiswa semester akhir. Tapi karena sebuah kecelakaan kecil, saya tak bisa membaca novel ini pada awal tahun 2008. Tapi syukurlah, pada pekan kemarin, seorang sahabat yang baik hati mengusahakan novel ini untuk saya.

Perfume bercerita tentang Jean-Baptiste Grenouille yang lahir tanpa aroma tubuh namun memiliki indra penciuman yang luar biasa. Ia mampu memilah setiap bau yang ada. Dari seorang ahli parfum ternama, ia belajar membuat parfum. Namun kegeniusannya yang besar menjadi menyimpang setelah ia jatuh hati pada aroma seorang perawan dan terobsesi untuk menciptakan parfum terbaik beraroma perawan.

Novel ini bersetting abad kedelapan belas di Prancis. Novel dibuka dengan kisah kelahiran Grenouille sebagai anak haram dari seorang perempuan muda. Ibunya diadili beberapa waktu kemudian karena mengaku lebih suka membunuh bayinya seperti keempat bayinya terdahulu daripada membiarkan mereka hidup. Perempuan itu diputus bersalah dan beberapa pekan kemudian dihukum penggal di de Gréve.

Sepeninggalan ibunya, Grenouille hidup dengan menyusu pada beberapa ibu susu sampai akhirnya ia diserahkan pada Bapa Terrier di biara Saint – Merri. Si ibu susu mengatakan ia tak sudi merawat bayi itu bukan karena Grenouille menyusu dengan rakus namun karena ia tak memiliki aroma tubuh.

Saya mengagumi kecerdasan Patrick Süskind dalam mendeskripsikan bagaimana aroma tubuh manusia. Ia mengambil perbandingan yang merangsang hidung saya untuk ikut membaui juga. Misalnya ia mengurai kaki bayi berbau batu halus, tubuh berbau kue serabi berbalur susu, dan bau ubun – ubun seperti bau karamel. Seorang Patrick Süskind menempatkan kecerdasan deskripsinya tentang bau bayi melalui pemahaman ibu susu yang terbatas pada lingkungannya yang sederhana.

Saya merenungi segala tentang aroma tubuh dan bebauan dunia sepanjang perjalanan hidup Grenouille yang berat. Dengan alasan ketiadaan bau itu sang bayi haram akhirnya dijauhi dari biara, dimasukkan ke sebuah rumah penitipan yatim piatu milik Madame Gaillard, janda yang cacat indra penciuman dan tak berperikemanusiaan. Dengan alasan yang sama pula, Grenouille dijauhi oleh anak – anak lainnya. Namun dari tempat itu ia belajar membaui lebih baik daripada belajar berbicara sampai akhirnya kelebihannya disadari dan dijadikan alasan untuk menjualnya sebagai buruh penyamak kulit.

Grenouille memulai debut berharganya sebagai ahli parfum setelah menangkap nasib baik pada kunjungan pertamanya di toko dan laboratorium si ahli parfum terkemuka dan hampir bangkrut, Baldini. Hubungan keduanya bagai simbiosis mutualisme, kegeniusan Grenouille dalam membaui membantu sang ahli mendapatkan kembali kehormatan, kekayaan, dan segala kejayaannya sebagai seorang ahli parfum terkemuka di Paris. Sementara itu, melalui Baldini, Grenouille belajar untuk meramu parfum dan beragam produk aromatik lainnya dari berbagai bunga dan tumbuhan.

Proses pembelajaran Grenouille adalah bagian paling favorit bagi saya. Sebagai seorang sarjana kimia yang mulai jauh dengan kekayaan ilmu itu, saya merasa beruntung melalui novel ini, saya dapat bersua kembali dengan apa yang pernah saya pelajari. Saya juga rindu masa – masa kuliah kimia bahan alam dan pemisahan kimia yang sedikit materinya terwakili dalam novel ini. Saya diingatkan kembali pada proses – proses pemisahan secara destilasi, sokletasi, dan maserasi. Karena bersetting abad kedelapan belas, segala proses itu masih berlangsung dengan sangat sederhana.  Patrick Süskind tidak perlu membawa tinjauan kimia yang rumit dalam novelnya tapi bagi yang awam novel ini menyumbang pemahaman tentang komponen aromatik dalam kehidupan kita. 

Melalui kebodohan Grenouille, kita tahu bahwa sekalipun segala sesuatu di dunia ini memiliki aroma, namun tidak semuanya bisa diubah ke dalam komponen – komponen aromatik yang lebih spesifik. Pembuatan parfum melibatkan pemisahan kimia yang tidak sesederhana yang dipikirkan Grenoulli. Hanya senyawa aromatik, senyawa yang mudah menguap saja yang bisa didestilasi. Proses pemisahan melibatkan pengikatan komponen aromatik itu oleh pelarut tertentu kemudian pelarut akan dipisahkan lewat proses pemisahan lain lagi. Grenouille terjebak dalam hasratnya pada aroma sehingga ia frustrasi ketika  tidak berhasil mengekstrak bendabenda mati, seperti tanah, batu, kaca, dan lainnya. Hasratnya pada aroma mencapai puncak penyimpangan pada keinginannya untuk mengekstrak aroma tubuh perempuan perawan. Ia memahami tumbuhan, binatang, dan manusia adalah makhluk hidup dan ia ingin memparfumkan semuanya. Ia pikir ada jiwa aromatik pada setiap makhluk hidup.

Mengutip pemikiran Baldini, si ahli parfum yang beriman, “bakat tidak berarti banyak bila dibandingkan dengan pengalaman yang diperoleh dari kerendahan hati dan kerja keras. Itu yang utama”. Karena itu bakat yang melatari kegeniusan seseorang perlu “dibatasi aturan dan prinsip pengajaran yang menuntun ke perilaku disiplin, pengendalian diri, dan kesejatian seorang manusia” (hal. 110).

Melalui Baldini, antusiasme Grenouille pada hasrat aromanya ditekan aturan, prinsip, dan kedisplinan seorang ahli parfum. Ia tak dapat bekerja sesukanya. Ia dilatih untuk memakai takaran, menerapkan keanggunan pekerja laboratorium, disiplin pada prosedur, dan mampu mendokumentasikan pekerjaannya. Sayang sekali, kejayaan kembali Baldini sebagai ahli parfum menjadi akhir campur tangan Grenouille pada hidup orang tua itu. Dan hancurnya segala kekayaan Baldini setelah itu mengajarkan kita betapa harta tak lebih dari sebuah kefanaan.

Kefanaan dunia terendus Grenouille. Gernouille yang tak kaya pengetahuan dan hanya mengandalkan kemampuan membaui, beranggapan aroma manusia amat memuakkan. Ia meninggalkan Paris, mengasingkan diri di sebuah gunung, ia mengosongkan diri, ia menjauhi manusia. Ia tumbuh dalam keegoisan. Kebenciannya pada manusia tumbuh dari ketiadaan kasih sayang dan cinta yang membuatnya hampa sampai kesadaran bahwa tubuhnya tak beraroma membawa ia pada kehidupan paling menggairahkan dengan bakat menyimpangnya. Ia membunuh 25 perempuan perawan demi hasratnya pada aroma parfum terbaik di dunia, parfum beraroma perawan.

Sebelum membaca novel ini, saya membayangkan kengerian pembunuhan ke-25 perawan dan bagaimana Grenouille menggekstrak aroma tubuh mereka. Sebuah proses ekstraksi komponen aromatik biasanya melibatkan proses preparasi yang meliputi penghancuran bahan baku. Untuk efektivitas proses ekstraksi, kau perlu luas permukaan yang besar melalui pencacahan atau penggerusan. Tujuannya agar pelarut dapat menarik sebanyak mungkin komponen spesifik yang akan kau ekstrak. Bayangkanlah jika hal itu diterapkan pada tubuh manusia yang tersusun dari sekian banyak molekul dalam sebuah susunan yang kompleks dan rumit. Diperlukan sebuah proses yang tak sederhana untuk itu.

Tapi syukurlah tak ada kengerian sadis dalam novel ini. Proses pembunuhan diceritakan dengan detail yang (bagi saya) masih memelihara keseluruhan aroma manis nan magis dalam novel ini. Ini memberi penekanan bahwa novel ini meski a story of a murderer, namun keselurahan hidup si murderer memberikan refleksi tentang aroma itu sendiri. Istilah jiwajiwa aromatik yang dipakai Patrick Süskind membuat saya bertanyatanya seperti apa aroma tubuh manusia itu? Lalu mengapa aroma terbaik justru terendus dari para perawan, para gadis yang mulai akil balik sampai pra dewasa? Mengapa pula Grenouille, si pemilik hidung terbaik justru memiliki tubuh yang tak beraroma? Saya merenungi pertanyaan–pertanyaan itu dan merefleksikan banyak hal. Ini juga salah satu alasan saya mencintai novel pada umumnya. Selalu ada rangsangan untuk berefleksi usai membaca.

Penangkapan Grenouille menjadi antiklimaks cerita. Tapi sekalipun dihadapkan pada hukuman mati, ia tidak peduli lantaran telah berhasil mewujudkan keinginannya, menciptakan parfum terbaik beraroma tubuh 25 perawan yang dibunuhnya. Dengan parfum ini ia mencipta aroma pada tubuhnya. Hanya dengan beberapa tetes, aroma tubuhnya membangkitkan kecintaan orang – orang yang membencinya. Aroma ini membalik hukuman mati yang akan diterimanya. Aroma parfum 25 perawan mencipta mujizat aneh, seluruh manusia yang berkumpul di lapangan demi menyaksikan kematiannya mendadak dibakar cinta dan birahi. Sebuah pesta seks tergelar di bawah penerangan matahari.

Grenouille mendapat kebebasannya dan berjalan kembali ke Kota yang telah lama ditinggalinya, Paris. Disana, tepatnya di area pekuburan bagi jasad – jasad bermacam makhluk terbuang (maling, pembunuh, pelacur, dan sebagainya), Grenouille memandikan tubuhnya dengan parfum beraroma perawan dan seketika ia memperbudak dunia di sekelilingnya dengan cinta. Mereka lalu menggapainya memeluk dan berusaha mengambil segala yang terbaik dalam dirinya. Cinta lalu mengubah mereka jadi kanibal, mereka menghancurkan tubuhnya dengan pisau, kapak, dan golok lalu memakan habis tubuhnya.

Saya sedikit tertegun dengan ending cerita ini.
.... Dan meski daging sang malaekat terasa agak berat di perut, hati terasa begitu ringan. Tiba – tiba saja seperti ada cahaya terang memayungi jiwa mereka yang gelap. Tak ada wajah menyesal. Malah terlihat begitu puas dan bahagia. Mungkin itulah sebabnya mereka malu untuk saling tatap.

Saat keberanian itu muncul, diawali pandangan curi–curi, lalu terang–terangan. Membuat mereka tersenyum. Tersenyum dan bangga. Untuk pertama kali mereka melakukan sesuatu atas nama cinta.

Hidup Gernoulli berakhir. Perfume berakhir. Sungguh, sebuah novel fantasi yang cerdas dan mengagumkan.