Minggu, 14 Juli 2019

Persiapan Menghadapi JST Interview Australia Awards Scholarship

Congratulation, you are selected!

(Photo by Tim Gouw on Unsplash)

Pekan kemarin, dua orang teman saya membagi berita baik bahwa mereka lolos seleksi administrasi Australia Awards Scholarship (AAS) dan meneriman undangan untuk Joint Selection Team (JST) interview and IELTS test.  

Seleksi selanjutnya mungkin akan segera tiba di pertengahan Juli ini. You might have been on cloud nine and cried out of happiness when pass the administration selection. Then, you might feel  nervous because of the JST interview and IELTS test. Tapi jangan kuatir, you’ll be fine.


Terkait tahap selanjutnya dalam proses seleksi, saya percaya para pemburu beasiswa sudah mengalokasikan waktu khusus untuk mempersiapkan diri. Masing-masing orang tentu punya cara sendiri terkait hal itu. Namun, ijinkan saya berbagi sedikit pengalaman terkait persiapan yang saya lakukan saat interview AAS tahun 2016. Semoga ada hal valuable yang bisa menambah referensi kalian.


Re-read your submitted application
Saya percaya kalian pasti menyimpan print out atau salinan aplikasi beasiswa yang telah kalian submit via Oasis. Semoga pula kalian telah membaca kembali supporting statements yang kalian tulis disana.

Bagi saya, supporting statements memuat keseriusan dan komitmen seseorang untuk melanjutkan pendidikan. Kamu pasti telah menyadari bahwa semua pertanyaan disana saling terkait. Pertanyaan pertama tentang bagaimana kita memilih universitas dan course merefleksikan bagaimana pengalaman-pengalaman profesional kita telah menuntun kita untuk mengidentifikasi persoalan dan menyadari kebutuhan kita untuk mengembangkan diri demi berkontribusi positif. Selanjutnya, hal tadi akan membantu kita merumuskan bentuk kontribusi apa yang bakal kita tawarkan setelah pulang ke Indonesia.

Dalam penyusunan supporting statements, saya mendapat bantuan beberapa teman untuk writing English concisely and properly. Hal ini memungkinkan adanya polesan pada bagaimana alamiahnya saya berbicara atau menulis. Karena itu, ketika membaca kembali aplikasi beasiswa, saya membuat catatan-catatan tentang aspek-aspek penting yang telah saya sampaikan dan apa saja hal penting yang mungkin belum sempat saya sampaikan. Hal ini akan membantu saya mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan klarifikasi yang bakal muncul ketika interview nanti.



Antisipasi Pertanyaan Yang Bakal Muncul
Menyambung pembahasan sebelumnya, saya kira penting bagi kita untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan yang bakal muncul. Terkait hal ini, beberapa teman telah berbaik hati membagi daftar pertanyaan yang sering muncul pada wawancara beasiswa. Saya juga menambahnya dengan mencari sharing pengalaman yang sama dari internet dan beberapa teman yang pernah menghadapi JST AAS.

Semua pertanyaan saya rencanakan jawabannya dengan mengetiknya di komputer. Saya melakukan hal ini karena saya menimbang kelemahan saya dalam berbicara. Saya biasanya terlalu asyik berbicara sampai lupa batasan. Saya juga sering terjebak untuk mengembangkan topik pembicaraan kemana-mana. Semua hal tampak penting bagi saya untuk dibicarakan. Namun saya menyadari bahwa interview hanya berlangsung paling lama dua puluh menit, jadi saya harus memastikan aspek-aspek penting yang ‘menjual’ dari diri saya harus sampai ke telinga interviewer.

Terkait hal itu, merencanakan jawaban membuat saya punya batasan apa saja yang perlu saya sampaikan jika ada pertanyaan tertentu.

Mari ambil contoh jika ada pertanyaan tentang proposed university and course. Bagi saya, kita tidak perlu lagi mengulang apa yang kita tulis di aplikasi. Pewawancara pasti sudah membaca aplikasi kita. Yang perlu kita lakukan adalah menegaskan kembali aspek penting disana ketika berbicara.

Misalnya, di aplikasi saya terkait topik itu, saya mengurai persoalan yang saya hadapi di tempat kerja dan memberi gambaran tentang area-area apa yang bisa saya tangani dengan berlatar belakang sarjana sains kimia. Tapi ada area lain yang butuh kemampuan lebih yang tampaknya bisa saya dapatkan ketika saya punya kesempatan belajar environmental science di dua universitas yang saya pilih. Saya bahkan menyebut spesifik beberapa matakuliah yang penting bagi pekerjaan saya dari kampus tersebut.

Namun ketika ditanya hal yang sama dalam interview, saya hanya menjawab, my future goal is mainly focus on bridging environmental data into proper management and policy. This is one of the biggest challenges that I found in my workplace. That’s why I found two proposed university in my application suit what I need. They provide subjects like GIS, ecological economics, or environmental impact assessment that can be beneficial for my contribution in environmental institution I worked for.

Kebetulan itu adalah pertanyaan pertama yang saya dapat saat interview. Lantas dari jawaban saya, interviewer bertanya apakah dalam pekerjaan, saya menggunakan GIS. Saya jawab tidak. Ia kemudian menanggapi bagaimana saya bisa yakin jika saya mampu belajar GIS sementara pekerjaan saya tidak pernah melibatkan GIS sama sekali. Saya agak terkejut saat pertanyaan itu muncul, tapi untungnya saya telah mempersiapkan jawabannya. Saat itu saya menjelaskan kembali karena saya sangat tertarik pada pentingnya data laboratorium dalam perumusan managemen dan kebijakan lingkungan, saya menemukan bahwa GIS bisa menjadi alternatif komunikasi data lingkungan yang efektif kepada masyarakat, pemerintah, atau pembuat kebijakan. Karena ketertarikan itu, saya seringkali membaca artikel-artikel di website ESRI. Misalnya, pernah ada satu proyek monitoring kualitas sungai di Afrika. Analisa parameter lapangan seperti yang sering kami lakukan dapat ditampilkan dalam bentuk peta kualitas lingkungan. Hal ini dapat membantu orang awam untuk memahami kondisi lingkungannya. Dengan mempelajari GIS saya bisa mengeksplorasi peluang itu di lingkungan kerja saya. Karena itu, saya telah mencoba membaca buku-buku atau artikel-artikel terkait, dan berdiskusi dengan teman-teman yang telah lebih dulu mempelajari hal tersebut.

Terlepas dari penjelasan yang serba panjang ini, tujuan utama saya mempersiapkan jawaban adalah untuk memastikan kepercayaan diri saya selama berbicara. Saya kenal benar diri saya, ketika nervous bicara saya cenderung tidak terkontrol, bisa saja saya harus menjawab A tapi ternyata C.

Kedua, paling tidak meski nervous, saya bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik. Kembali pada sharing sebelumnya, karena banyak teman telah membantu dalam penyusunan aplikasi, saya merasa perlu bahasa lisan saya sebaik aplikasi beasiswa saya. Hal ini bisa jadi aspek lain yang ‘menjual’ ketika kita berhadapan dengan interviewer, apalagi kita akan belajar di negara yang berbahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang mungkin belum begitu baik saat itu, saya pikir preparasi seperti ini perlu.



Dokumen-Dokumen Pendukung
Dulu saya juga mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung yang saya rasa penting untuk dibawa dalam interview. Kebetulan di aplikasi, saya menulis tentang kontribusi kecil saya salah satu bidang di tahun awal karir saya. Dulu saya sering kewalahan mencari dokumen lingkungan yang tercecer jika ada orang yang membutuhkannya. Jadi, saya berinisiatif membuat kode dokumen berdasarkan jenis usaha dan tahun pengesahan dokumen, kemudian membuat semacam accessible mini library yang memudahkan orang menemukan dokumen dan mengakses informasi. Saya mempersiapkan satu contoh dokumen dan membawanya saat interview.

Saya juga mempersiapkan satu contoh laporan monitoring yang sering saya kerjakan dan SOP lab, hanya untuk membantu penjelasan saya tentang pentingnya komunikasi data yang cenderung saintifik kepada orang awam atau yang baru mulai menekuni bidang lingkungan. Dokumen lain seperti bukti komunikasi dengan kampus tujuan juga saya siapkan.

Persiapan dokumen ini tidak wajib hanya saja saya berpikir dokumen adalah bentuk fisik yang bisa meringkas penjelasan jika ada tagihan pertanyaan terkait.

Saat hari interview, para interviewer memang tidak meminta dan tidak ada penjelasaan saya yang membutuhkan saya menunjukkan dokumen-dokumen tadi. Tapi setidaknya persiapan ini tidak sia-sia. Hanya bagian dari mengantisipasi kelemahan saya dalam penjelasan yang berbelit-belit dan membantu peningkatan kepercayaan diri.

(Photo by Austin Distel on Unsplash)

Mengecek Kembali Official Website Universitas Tujuan
Tampaknya saya terlalu well prepared sampai merasa perlu mengecek official website kampus tujuan saya. Tapi terus terang saya punya satu masalah terkait. Dulu saya memilih the University of South Australia (UniSA) dan Monash University. Program master yang saya tuju di UniSA mengalami setidaknya tiga kali revisi dalam setahun. Saat menyusun aplikasi beasiswa, ada perubahan nama jurusan dan struktur mata kuliah yang ditawar. Setelah submit aplikasi AAS, jurusan itu kembali direvisi. Perubahan-perubahan ini selain berdampak pada berubahnya mata kuliah yang ditawar, juga apakah jurusan itu masih boleh diambil oleh mahasiswa internasional. Tentu kita tidak mau melamar di jurusan yang no longer exist. In case that happens, we should prepare for an alternative.

Jangan sampai pula, interviewer lebih tahu tentang isu tadi dibandingkan kita yang akan melamar kesana. Memantau terus official website bisa jadi salah satu tanda keseriusan kita menggali informasi. Hal tambahan lain yang saya juga lakukan adalah mengikuti facebook page jurusan yang saya lamar. Ada tambahan informasi kecil yang bisa masuk dalam daftar persiapan, seperti aktivitas-aktivitas kampus yang pro sustainable initiatives atau Eco-friendly behavior.  Atau riset-riset terkait masalah lokal negara bagian mereka.


Pertanyaan Bisa Berasal Dari CV
Dari pengalaman interview, tampaknya pertanyaan-pertanyaan pewawancara tergantung pada jawaban-jawaban yang kita berikan dan dikait-kaitkan kemana-mana. Termasuk ke CV kita. Saya mengalami hal itu. Setelah penjelasan saya yang antusias tentang keterkaitan ilmu dan skills S1 saya dengan pekerjaan dan program master yang saya ambil. Pewawancara kemudian menggali pengalaman kerja saya selama setahun sebagai guru kimia dan bertanya apakah pekerjaan saya sekarang berbelok dari apa yang sebelumnya saya tekuni.

Namun saya menjelaskan bahwa tidak begitu, karena sebenarnya saya belajar di fakultas MIPA bukan FKIP, jadi saya tidak dididik untuk jadi guru. Namun saya mengambil peluang itu selagi saya mencari peluang kerja yang linear dengan bidang ilmu saya. Beruntungnya saya mendapatkannya. Tapi menjadi guru membantu saya untuk berkomunikasi dengan jauh lebih baik dengan orang-orang yang awam terhadap sains di lingkungan kerja saya karena tidak semua orang familiar dengan pekerjaan-pekerjaan lab atau data lingkungan yang banyak terminologi sainsnya.

Jadi, kuncinya adalah promote something positive that you got from past experience, for which it can help your personal contribution.


Latihan Wawancara
Latihan pertama adalah dengan cermin. Jadi saya mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri di dalam cermin dan menjawab juga bagi diri sendiri.

Setelah cukup percaya diri, saya berlatih wawancara dengan orang lain. Dulu saya mengandalkan bantuan para alumni AAS lewat kelas Berburu Beasiswa di Kupang. Praktek wawancara kali itu dibantu seorang alumni TESOL. Kemudian ada teman AAS awardee yang ambil master of education. Dua orang itu tidak benar-benar sebidang dengan saya, sehingga latihan wawancara dengan mereka bisa jadi membantu kita menakar kemampuan kita untuk menjelaskan sesuatu yang spesifik bidang kita kepada orang yang awam dengan bidang kita.
Di salah satu latihan wawancara, saya melakukannya bersama salah satu teman pemburu beasiswa yang juga akan mengambil master of environment namun dengan fokus study yang berbeda. Saya kira latihan ini membantu kami untuk saling menyumbang saran perbaikan bagi diri masing-masing.


(Photo by Romain V on Unsplash)

Do The Best, God Will do the Rest
Terakhir, terlepas dari apapun persiapan yang kita lakukan, pastikan sepanjang persiapan maupun di ruang interview, kamu menjadi versi terbaik dirimu, don’t pretend to be someone else. Saat interview, akan muncuk banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengejutkan atau berputar-putar. Jawaban kita harus merefleksikan bagaimana kita bukan bagaimana seharusnya kita. Jangan sampai kita terjebak mengarang sesuatu yang berakhir dengan kesan bahwa kita tidak konsisten menggambarkan siapa kita.

We will only have at least 20 minutes at an interview room, dalam waktu yang terbatas itu banyak hal di luar kendali kita. Jadi, tetap beriman, ora et labora. Do the best, let God do the rest.

Good luck!