Pagi 3 Maret 2012, masih di atas tempat tidur, saya membaca sebuah berita
yang menarik di kompas.com; FMIPA Universitas Diponegoro berubah nama menjadi
Fakultas Sains dan Matematika (FSM). Salah satu alasan pergatian nama karena
saat ini nama FMIPA tidak populer di dunia internasional, sehingga menyulitkan
dalam berkomunikasi dalam rangka pengembangan institusi dan sering menimbulkan
salah persepsi. Alasan lain, pemerintah
saat ini tidak lagi menggunakan istilah IPA di lingkungan pendidikan dasar dan
menengah. Bahkan gelar kesarjanaan di perguruan tinggi adalah Sarjana Sains
(S.Si).
Menurut Dr. Muhammad Nur, dekan FSM Undip, dalam era global terminologi
FMIPA hampir tidak digunakan oleh perguruan tinggi di dunia. Hanya sedikit
perguruan tinggi di Belanda yang masih menggunakan terminologi FMIPA.
Penggunaan FMIPA di Indonesia disinyalir karena dipengaruhi oleh terminologi
yang berlaku di Belanda. Penggunaan terminologi FMIPA tersebut, disinyalir
membentuk opini masyarakat bahwa alumni fakutas ini mempunyai kesempatan yang
terbatas di dunia kerja. Ada anggapan bahwa alumni FMIPA akan berkarya sebagai
guru, dosen, dan peneliti.
Berita ini menarik karena saya seorang S.Si dan pernah mengalami proses
pergantian nama fakultas tempat saya belajar. Saya jadi ingat, ketika FMIPA
Undana di-merger dengan Fakultas
Teknik menjadi Fakultas Sains dan Teknik (FST). Merger ini hanya secara administratif tidak secara keilmuan. Karena
itu ada dua gelar sarjana dari fakultas ini yang sains menghasilkan Sarjana
Sains (S.Si) dan teknik menghasilkan Sarjana Teknik (ST).
Selalu ada persepsi dalam masyarakat tentang gelar kesarjanaan. Yang ingin
saya bahas adalah S.Si yang kebetulan saya sandang. Gelar ini terasa amat membanggakan
ketika saya masih fresh graduated.
Namun saya agak kesal karena sebagian orang menyamakan saya dengan lulusan
program studi MIPA dari FKIP. Mereka pikir kami akan (terbatas) menjadi
pendidik seperti para alumni FKIP. Padahal banyak peluang karier yang
dimungkinkan bagi seorang sarjana sains. Hal ini membuat saya enggan menerima
tawaran mengajar tak sebatas untuk mempertegas orientasi gelar kesarjanaan saya
yang tidak terbatas pada dunia pendidikan, tapi lebih dari itu untuk menjaga
idealisme saya terhadap gelar kesarjanaan saya. Dalam benak, saya mengidamkan
profesi analis. Maklum, selama empat tahun sebagai mahasiswa jurusan kimia,
saya dan teman – teman sejurusan terlalu akrab dengan laboratorium. Hal ini
membuat sarjana kimia selalu merindukan lab ketika telah menjadi alumni.
Namun seusai wisuda, setiap alumni menambah daftar pengangguran di
Indonesia. Peluang kerja tak sebanding dengan jumlah alumni. Kita tidak bisa
menjadi terlalu idealisme. Kita harus jauh lebih realistis. Selalu ada stres
pasca alumni yang dipicu ketiadaan aktivitas, susahnya mencari pekerjaan, dan
berkurangnya sokongan finansial dari orang tua. Kalau sudah begini, menjadi
realistis lebih penting daripada tetap mempertahankan idealisme.
Jadi, saya tidak duduk manis di rumah dan kewalahan mencari pekerjaan yang
sangat berhubungan dengan latar belakang ilmu yang saya dalami selama kuliah.
Maka, my ordinary day, dipenuhi
aktivitas membaca loker (lowongan kerja) lalu menulis dan mengirim surat
lamaran. Entah telah berapa banyak surat lamaran telah saya kirimkan. Yang
pasti setiap kali ada loker yang butuh S.Si kimia atau S1 segala jurusan, pasti
saya turut berpartsipasi. Selama enam bulan saya jatuh bangun dengan tes dan
wawancara kerja disana sini. Sebelum akhirnya berkesempatan menjadi guru selama
setahun dan akhirnya bisa bekerja di tempat kerja sekarang yang syukurnya masih
berhubungan dengan ilmu yang saya dalami.
Mendapatkan pekerjaan itu tak hanya bergantung pada sebagus apa prestasi
akademismu. Kau mesti pandai menangkap peluang. Sebagian orang mungkin amat
beruntung jika kepandaiannya menjadi magnet pendatang pekerjaan. Tapi ada
terlalu banyak orang berijazah yang IPK tingginya tak sanggup menjadi magnet
pekerjaan bagi dirinya. Dengan sedikitnya peluang kerja yang tersedia, ada hal
– hal yang sama pentingnya dengan IPK yang tinggi untuk mendapatkan pekerjaan.
Maka menjadi hal yang lumrah ketika koneksipun memegang salah satu peranan
penting untuk mendapatkan pekerjaan.
Bagi saya, setiap gelar kesarjanaan tak hanya membanggakan tapi menjadi
beban besar bagi pemiliknya. Ketika menjadi alumni, masyarakat menganggapmu
sebagai manusia serba tahu tak peduli seberapa terbatasnya pengetahuanmu
terhadap ilmumu dan pengetahuan – pengetahuan lain. Karena itu, semasa sekolah
janganlah mengejar nilai semata. Prestasi akademis tak hanya terukur dari
nilai. Kau harus cukup berpengetahuan. Kau harus mencintai ilmu yang kau
pelajari. Kecintaan ini akan menimbulkan rasa tanggung jawab, kau akan lebih
jujur, tidak terjebak pada usaha – usaha tak terpuji demi kepraktisan
memperoleh nilai tinggi. Setelah menjadi alumni nilai tinggi akan menjadi beban
yang harus kau pertanggung jawabkan di masyarakat.
Selain itu, pekerjaan itu sebuah panggilan hidup. Apapun gelar kesarjanaan
yang kita sandang kadang ladang tempat pengabdian kita bisa bertolak belakang
dengan tuntutan idealis dari kesarjanaan itu. Akan lebih baik jika kita tidak
menutup peluang terhadap banyak hal baik yang datang kepada kita. Jadi, menjadi
realistis itu penting, sama pentingnya dengan menjadi idealis. Tapi jangan
pernah mengusahakan sesuatu yang memburukkanmu dan memaklumkannya sebagai
bagian dari usaha menjadi realistis. Kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup tak
pernah bisa ditakar dengan uang karena itu jangan menjebak diri untuk menjadi
buruk.
Di penghujung tugas bersekolah seorang manusia, ia akan bertarung untuk
memenuhi segala tuntutan hidup. Tapi bekerja tak semata bertujuan untuk
mendapatkan uang demi mengisi perut atau demi tingkatan hidup yang lebih baik
dalam kehidupan sosial. Bekerja juga sebuah panggilan hidup. Setiap orang akan
dipercayakan ladang tempat ia menggarap. Di sana, yang diterapkan tak semata
ilmu yang sudah didalami selama masa sekolah, tapi juga penghayatan terhadap
banyak nilai positif dari ilmu tersebut. Kadang apa yang dihadapi di tempat
kerja jauh lebih berat daripada apa yang kita dapat selama berada di lembaga –
lembaga pendidikan. Tapi setiap ilmu, mengandung sari – sari nilai positif
sebuah kehidupan. Orang yang mencintai ilmunya akan memiliki rasa hormat dan
tanggung jawab atas apa yang dikerjakan. Bagaimanapun, sebuah pekerjaan
berorientasi pada kemajuan sebuah masyarakat yang lebih luas, tak sebatas pada
kehidupan individual seorang manusia.
Menjadi idealis pada ilmu tak semata harus bekerja sesuai bidang ilmu yang
didalami. Tapi mengambil nilai – nilai positif dari ilmu tersebut dan
menerapkannya. Jika merenung lebih jauh, tentu setiap teori mengandung nilai –
nilai filosofis. Lembaga pendidikan tidak hanya menjejal kita dengan ilmu.
Tanpa sadar pola pikir kita terlatih dan terbentuk dari proses – proses
berpikir selama masa sekolah.
Dimana kita sekarang, apapun yang sedang kita geluti. Tanamkan kepercayaan
diri dan tanggung jawabmu disitu. Kau akan lebih berbahagia. Menikmati
pekerjaan lebih menggembirakan daripada mengeluhkannya. Selalu ada banyak
tantangan untuk menjadi besar. Pekerjaan adalah bagian dari misi perutusan
dalam setiap penciptaan manusia.
Selamat bekerja. Semangat selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar