Tahun 2011 adalah
tahun yang luar biasa bagi saya. Saya niatkan untuk berziarah ke Larantuka
sebagai salah satu wujud rasa syukur saya atas karya Tuhan yang luar biasa
dalam hidup saya, khususnya untuk sepuluh tahun yang amat berkesan.
Namun selalu ada
tantangan di setiap hal baik yang kita rencanakan. Cuaca buruk sempat
menghalangi keberangkatan saya ke sana. Sejak hari minggu Palma, 17 April 2011,
hujan angin tampak begitu mengerikan. Siklon Tropis Errol dikabarkan menyerang
NTT. Perairan laut terkena dampak. Gelombang di laut meninggi dan larangan
berlayar diberlakukan. Setelah badai itu berlalu, muncul lagi Ex Siklon Tropis
Errol yang pengaruhnya juga masih sama buruknya, yaitu potensi hujan dengan
intensitas ringan - sedang, angin kencang, dan gelombang tinggi di perairan
laut.
Saya terus memantau cuaca lewat ramalan cuaca di ponsel dan terus
menghubungi seorang teman yang bekerja di Badan Meteorologi dan Geofisika.
Hingga pada rabu, 20 April 2011, saya memutuskan untuk tidak pergi ke Larantuka
karena sepanjang hari itu hujan dan angin kencang tak kunjung surut. Namun
telepon dari adik ibu saya membuat saya membatalkan keputusan itu. Ia berkata,
"kalau sudah punya niat baik, yakinlah selalu ada jalan yang baik.".
Saya juga meyakini hal yang sama. Maka walau hujan deras, saya pergi ke agen
perjalanan dan mengecek tiket. Sirimau akan merapat di Kupang pada tengah malam
dan akan berangkat ke Larantuka pada kamis dini hari. Tanpa berpikir dua kali
saya langsung membeli tiket agar tak seorangpun membatalkan keberangkatan saya
dan malam harinya saya menuju Tenau.
Cuaca tetap buruk sampai tengah malam. Banyak penumpang yang hendak
bertolak ke Larantuka. Sebagian besar untuk mengikuti prosesi Paskah disana,
sebagian lainnya untuk berlibur ke kampung halaman. Sayangnya, Sirimau tak
merapat seperti dijadwalkan. Saya harus tidur disana sampai subuh, sampai
tersiar kabar bahwa kapal itu telah merapat. Hari itu untuk pertama kalinya
dalam sebelas tahun, saya kembali menempuh perjalanan dengan kapal Pelni lewat
pelabuhan Tenau, Kupang. Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya haru betul
mengenang sebelas tahun lalu saya dan keluarga saya hijrah dari Ambon menuju
Kupang menggunakan Dobonsolo.
Sirimau tak sebesar Dobonsolo. Tapi masa bodoh dengan ukuran. Saya menikmati
perjalanan dan segala tantangan yang ada bersamanya. Ini juga kali pertama saya
melakukan perjalanan seorang diri tanpa ditemani keluarga. Untungnya di atas
kapal saya bertemu Trivo, anak AKL yang baru selesai magang di kantor saya. Dan
ia bersama beberapa teman yang baru dikenalnya akhirnya menjadi teman
perjalanan yang menyenangkan. Teman - teman yang baru dikenal Trivo adalah
salah satu anak Timor Leste yang baru pertama kali naik kapal dan seorang
lelaki Alor yang humoris sekali. Perjalanan saya dipenuhi tawa karena mereka.
Trivo bercerita, saat
menunggu Sirimau, si anak Timor Leste bertanya; "kapal yang akan kita
tumpangi itu modelnya seperti apa?". Trivo bilang seperti yang tergambar
di cover tiket. Tapi setelah berada di atas kapal, si anak itu berkata bahwa
yang di gambar jauh lebih besar daripada yang dilihatnya. Ia juga bertanya
apakah kapal jalannya seperti oto? hahahaha.....
Sirimau baru berangkat
setelah matahari terbit. Puji Tuhan, pada kamis, 21 April 2011, cuaca begitu
bersahabat. Sosok matahari dapat dijejaki, langit biru terang dengan gumpalan
awan putih melayang disana. Burung - burng terbang rendah di atas laut yang
tenang. Saya tak berhenti menghaturkan syukur, lebih-lebih setelah tanda
keberangkatan berkumandang dan Sirimau berlayar menyusuri lautan yang tenang.
Tak ada gelombang tinggi, tak
ada mual, tak ada ketakutan. Saya bahkan enggan terpejam demi menikmati alam
yang begitu bersahabat. Betapa luar biasanya Tuhan itu.
Di atas kapal, lelaki Alor, teman perjalanan saya mengatakan pada anak Timor Leste bahawa sesampai di Larantuka akan dilakukan pemeriksaan KTP, yang bukan warga negara Indonesia akan diceburkan di laut. hahahahah.... ada-ada saja. Ia juga mengolok bahwa tak ada laut di Timor Leste. Tapi saya memuji pelabuhannya karena pernah melihatnya pada liburan saat masih SD. Saat itu Dobonsolo masih menyinggahi Dili sebelum merapat di Kupang.
Bukankah Indonesia kita begitu luar biasa? Negara kita merupakan negara maritim dengan potensi bahari yang luar biasa. Saya semakin mencintai Indonesia secara berlebihan, tak luput sejarah maupun kebudayaannya setelah membaca dan amat terkesan pada novel Manjali dan Cakrabirawa karangan Ayu Utami. Dan saya agak kesal ketika mencuri dengar percakapan seorang lelaki NTT dengan seorang bule perempuan paruh baya.
Awalnya saya memuji kemampuan bahasa inggrisnya karena ketakberanian saya meminta si bule untuk berbincang. Namun agak kesal ketika ia lebih mengatakan menyukai Bali dan daerah lainnya ketimbang NTT. Please deh, lihat laut yang terbentang di hadapan kita, tidakkah itu luar biasa? Bagi saya, kita harus mencintai rumah kita sebelum mencintai tempat lain. Kita harus pamer daerah kita pada orang asing agar mereka mau berkunjung. NTT tak kalah luar biasa. Sebelum berangkat saya bahkan baru menulis keindahan Kota Kupang, si kota karang. Pada musim kemarau, wadas-wadas memang tampak perkasa, tapi lihat pepohonan gamal berkuntum cantik lanyaknya sakura. Pada musim pancaroba, kuntum-kuntum flamboyan bagai gincu yang menawan dan pada musim hujan Kupang begitu segar dalam kehijauannya.
Lepas tengah hari, Sirimau telah memasuki perairan pulau Flores gugusan pulau-pulau di seberang begitu menabjukkan. Sayangnya, saya tak berbekal kamera dengan kapasitas yang bagus sehingga tak dapat memotret segala keindahan yang tersaji.
Saya sampai di Larantuka pada sore hari. Sungguh senang
sejak melihat gunung Ile Mandiri dari kejauhan.
Seorang ibu gila menyambut Sirimau
yang hendak merapat di dermaga dengan tarian. Pelabuhan ramai oleh para
penjemput dan mereka yang akan bepergian. Puji Tuhan, tibalah saya di Kota
Renya, tibalah saya untu mengikuti prosesi paskah. Niat baik telah terestui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar