Sabtu, 11 Februari 2012

Prosesi Paskah Di Larantuka (Bagian 1: Niat Baik Yang Terestui)

Tahun 2011 adalah tahun yang luar biasa bagi saya. Saya niatkan untuk berziarah ke Larantuka sebagai salah satu wujud rasa syukur saya atas karya Tuhan yang luar biasa dalam hidup saya, khususnya untuk sepuluh tahun yang amat berkesan.

Namun selalu ada tantangan di setiap hal baik yang kita rencanakan. Cuaca buruk sempat menghalangi keberangkatan saya ke sana. Sejak hari minggu Palma, 17 April 2011, hujan angin tampak begitu mengerikan. Siklon Tropis Errol dikabarkan menyerang NTT. Perairan laut terkena dampak. Gelombang di laut meninggi dan larangan berlayar diberlakukan. Setelah badai itu berlalu, muncul lagi Ex Siklon Tropis Errol yang pengaruhnya juga masih sama buruknya, yaitu potensi hujan dengan intensitas ringan - sedang, angin kencang, dan gelombang tinggi di perairan laut.

Saya terus memantau cuaca lewat ramalan cuaca di ponsel dan terus menghubungi seorang teman yang bekerja di Badan Meteorologi dan Geofisika. Hingga pada rabu, 20 April 2011, saya memutuskan untuk tidak pergi ke Larantuka karena sepanjang hari itu hujan dan angin kencang tak kunjung surut. Namun telepon dari adik ibu saya membuat saya membatalkan keputusan itu. Ia berkata, "kalau sudah punya niat baik, yakinlah selalu ada jalan yang baik.". Saya juga meyakini hal yang sama. Maka walau hujan deras, saya pergi ke agen perjalanan dan mengecek tiket. Sirimau akan merapat di Kupang pada tengah malam dan akan berangkat ke Larantuka pada kamis dini hari. Tanpa berpikir dua kali saya langsung membeli tiket agar tak seorangpun membatalkan keberangkatan saya dan malam harinya saya menuju Tenau.

Cuaca tetap buruk sampai tengah malam. Banyak penumpang yang hendak bertolak ke Larantuka. Sebagian besar untuk mengikuti prosesi Paskah disana, sebagian lainnya untuk berlibur ke kampung halaman. Sayangnya, Sirimau tak merapat seperti dijadwalkan. Saya harus tidur disana sampai subuh, sampai tersiar kabar bahwa kapal itu telah merapat. Hari itu untuk pertama kalinya dalam sebelas tahun, saya kembali menempuh perjalanan dengan kapal Pelni lewat pelabuhan Tenau, Kupang. Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya haru betul mengenang sebelas tahun lalu saya dan keluarga saya hijrah dari Ambon menuju Kupang menggunakan Dobonsolo.

Sirimau tak sebesar Dobonsolo. Tapi masa bodoh dengan ukuran. Saya menikmati perjalanan dan segala tantangan yang ada bersamanya. Ini juga kali pertama saya melakukan perjalanan seorang diri tanpa ditemani keluarga. Untungnya di atas kapal saya bertemu Trivo, anak AKL yang baru selesai magang di kantor saya. Dan ia bersama beberapa teman yang baru dikenalnya akhirnya menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Teman - teman yang baru dikenal Trivo adalah salah satu anak Timor Leste yang baru pertama kali naik kapal dan seorang lelaki Alor yang humoris sekali. Perjalanan saya dipenuhi tawa karena mereka.



Trivo bercerita, saat menunggu Sirimau, si anak Timor Leste bertanya; "kapal yang akan kita tumpangi itu modelnya seperti apa?". Trivo bilang seperti yang tergambar di cover tiket. Tapi setelah berada di atas kapal, si anak itu berkata bahwa yang di gambar jauh lebih besar daripada yang dilihatnya. Ia juga bertanya apakah kapal jalannya seperti oto? hahahaha.....

Sirimau baru berangkat setelah matahari terbit. Puji Tuhan, pada kamis, 21 April 2011, cuaca begitu bersahabat. Sosok matahari dapat dijejaki, langit biru terang dengan gumpalan awan putih melayang disana. Burung - burng terbang rendah di atas laut yang tenang. Saya tak berhenti menghaturkan syukur, lebih-lebih setelah tanda keberangkatan berkumandang dan Sirimau berlayar menyusuri lautan yang tenang.
Tak ada gelombang tinggi, tak ada mual, tak ada ketakutan. Saya bahkan enggan terpejam demi menikmati alam yang begitu bersahabat. Betapa luar biasanya Tuhan itu. 



Di atas kapal, lelaki Alor, teman perjalanan saya mengatakan pada anak Timor Leste bahawa sesampai di Larantuka akan dilakukan pemeriksaan KTP, yang bukan warga negara Indonesia akan diceburkan di laut. hahahahah.... ada-ada saja. Ia juga mengolok bahwa tak ada laut di Timor Leste. Tapi saya memuji pelabuhannya karena pernah melihatnya pada liburan saat masih SD. Saat itu Dobonsolo masih menyinggahi Dili sebelum merapat di Kupang. 

Bukankah Indonesia kita begitu luar biasa? Negara kita merupakan negara maritim dengan potensi bahari yang luar biasa. Saya semakin mencintai Indonesia secara berlebihan, tak luput sejarah maupun kebudayaannya setelah membaca dan amat terkesan pada novel Manjali dan Cakrabirawa karangan Ayu Utami. Dan saya agak kesal ketika mencuri dengar percakapan seorang lelaki NTT dengan seorang bule perempuan paruh baya.

Awalnya saya memuji kemampuan bahasa inggrisnya karena ketakberanian saya meminta si bule untuk berbincang. Namun agak kesal ketika ia lebih mengatakan menyukai Bali dan daerah lainnya ketimbang NTT. Please deh, lihat laut yang terbentang di hadapan kita, tidakkah itu luar biasa? Bagi saya, kita harus mencintai rumah kita sebelum mencintai tempat lain. Kita harus pamer daerah kita pada orang asing agar mereka mau berkunjung. NTT tak kalah luar biasa. Sebelum berangkat saya bahkan baru menulis keindahan Kota Kupang, si kota karang. Pada musim kemarau, wadas-wadas memang tampak perkasa, tapi lihat pepohonan gamal berkuntum cantik lanyaknya sakura. Pada musim pancaroba, kuntum-kuntum flamboyan bagai gincu yang menawan dan pada musim hujan Kupang begitu segar dalam kehijauannya.



Lepas tengah hari, Sirimau telah memasuki perairan pulau Flores gugusan pulau-pulau di seberang begitu menabjukkan. Sayangnya, saya tak berbekal kamera dengan kapasitas yang bagus sehingga tak dapat memotret segala keindahan yang tersaji.


Saya sampai di Larantuka pada sore hari. Sungguh senang sejak melihat gunung Ile Mandiri dari kejauhan.



Seorang ibu gila menyambut Sirimau yang hendak merapat di dermaga dengan tarian. Pelabuhan ramai oleh para penjemput dan mereka yang akan bepergian. Puji Tuhan, tibalah saya di Kota Renya, tibalah saya untu mengikuti prosesi paskah. Niat baik telah terestui. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar