Cerita Cinta Enrico adalah
novel terbaru Ayu Utami. Novel ini adalah kisah nyata seorang anak laki - laki,
Enrico yang lahir bersamaan dengan Pemberontakan PRRI. Ia menjadi bayi gerilya
sejak usia satu hari. Kerabatnya tak lepas dari peristiwa '65. Ia menjadi aktivis
di ITB pada era Orde Baru, sebelum gerakan mahasiswa dipatahkan. Merasa
dikebiri rezim, ia merindukan tumbangnya Soeharto. Akhirnya ia melihat itu
bersamaan dengan ia melihat perempuan yang menghadirkan kembali sosok yang ia
cintai sekaligus hindari; ibunya.
Sebelum membuka
halaman-halaman dalam buku ini, saya begitu tertarik dengan sampul novel yang
berwarna kuning dengan karikatur di setiap huruf yang memuat judul novel
tersebut. Sampulnya terkesan ceria. Tapi melihat kartun berseragam loreng dapatlah
saya menebak bahwa ia pasti menulis tentang militerisme sebagaimana yang sering
kita temui pada banyak novel Ayu sebelumnya.Yang mengusik keingintahuan saya
adalah adanya gambar sepatu pantovel yang entah bermakna apa.
Pantovel itu terjawab ketika
saya membaca bab-bab awal yang cukup mengharukan. Saya menitikkan air mata
sepanjang membaca bab-bab awal itu. Ini pertama kalinya saya menangis sepanjang
saya membaca karya - karya Ayu Utami. Tapi ia terlalu kejam untuk membuat saya
menangis sepanjang membaca novel ini. Sikap skeptisnya, kritik-kritik tajamnya
terhadap militerisme, agama, tuhan, dan lembaga pernikahan akan kembali kita
temui. Kritik tersebut telah menjadi ciri khas dalam karya - karyanya selama
ini.
Novel ini dibagi dalam tiga
bagian besar; Cinta Pertama, Patah Hati, Cinta Terakhir. Ketiga hal tersebut
merupakan sebuah proses atau tahapan yang lazim dalam sebuah cerita cinta.
Dengan alur flash back, sang penulis cukup berhasil dalam mengatur setiap kisah
dalam ketiga bagian besar tersebut.
Pada pemulaan cerita,
dikisahkan bagaimana Enrico jatuh cinta pada ibunya, cinta pertamanya. Saya
kira, cinta pertama adalah cinta paling membahagiakan dalam hidup seorang
manusia. Si cinta pertama selalu menjadi model atau sosok ideal bagi cinta - cinta
selanjutnya. Kita kerap mengkriteriakan seseorang berdasarkan sosok si cinta
pertama. Kadang saking cintanya kita pada cinta pertama, kita cenderung egois,
kita kadang tidak memaklumi proses hidup yang memungkinkan seseorang berubah.
Kita cenderung memelihara bagian dirinya yang ideal dalam pemikiran kira.
Itulah sebabnya pada suatu titik, ketika kita tidak menemukan lagi orang yang
sama sebagaimana yang dulu kita idealkan, kita menjadi kecewa, kita menjadi
patah hati. Selanjutnya proses itu akan membawa kita untuk mengoreksi kembali
kriteria- kriteria ideal yang telah kita tetapkan yang bertolak pada cinta
pertama yang istimewa itu. Pada proses tersebut kita akan menjadi terbuka
dengan lingkungan di sekitar kita. Kita akan melihat banyak hal baik lainnya
yang selama ini tak kita jamah karena kita menutup mata kita pada kriteria-
kriteria ideal yang kita tetapkan. Cerita Cinta Enrico sangat baik
menggambarkan hal ini.
Bab-bab awal bagi saya begitu
penuh cinta. Ayu menampilkan sosok ibu Enrico sebagai perempuan yang begitu
istimewa. Dalam keistimewaan itu wajarlah ia menjadi cinta pertama sang anak.
Ibu Enrico tidak selazim perempuan-perempuan lain disekelilingnya. Ia cerdas,
berpenampilan menarik, dan bersepatu pantovel. Saya suka kebanggaan dandanan ibu
Enrico, terutama pantovel yang dinarasikan Ayu dengan sangat manis.
"Ibuku sangat berbeda
dengan perempuan-perempuan lain di sekitar kami. Rambutnya pendek.
Sepanjang-panjangnnya sebahu. Pada masa itu, wanita kampung selalu berambut
panjang. Dan berkutu. Ibu selalu menghubungkan rambut panjang dengan kutu. Ibu
juga selalu memakai rok selutut dan sepatu pantovel - pantovel hitam yang hebat
itu - sementara perempuan - perempuan yang lain memakai kebaya, baju kurung,
dengan sandal atau bahkan bertelanjang kaki." Cerita Cinta Enrico, hal 4.
Awalnya saya berpikir ini
novel ringan, lebih ringan daripada Manjali dan Cakrabirawa dan juga lebih
manis. Pada bab-bab awal kita dapat merasakan keterpesonaan yang sama pada
sosok ibu yang cerdas, cantik, anggung, sopan, penuh cinta, pandai berdiplomasi
dan sebagainya. Ada pula keterlukaan seorang anak ketika sebuah kehilangan yang
membawa luka merubah perempuan itu menjadi sesosok yang berbeda. Dalam kisah
Enrico yang berlatar perang PRRI, kritik terhadap militerisme tidak begitu
emosional. Tapi tidak setelah Enrico patah hati dan kisah hidupnya berlatar
rezim yang berbeda. Kritik itu menjadi emosional. Dan saya tidak punya alasan
untuk menangisi sebuah hubungan anak dan ibu yang meluntur ketika saya temui
kritik-kritik tajam yang benar-benar khas Ayu Utami. Pada awal cerita si penulis juga cukup sopan dalam mengurai soal seks tapi
tidak demikian ketika Enrico bertumbuh dan berproses menjadi seorang lelaki
yang merdeka.
Terlepas dari kevulgaran yang
selalu ada dalam karya-karya Ayu, saya mencintai kejujurannya dalam berkarya,
kebebasannya dalam bercerita, dan kecerdasannya dalam memilih dan menyusun kata
- kata. Ia memenuhi kehausan saya pada cerita-cerita cinta yang tak picisan.
Saya bangga pada kekonsistenannya membawa sejarah dan khazanah budaya Indonesia
dalam karya-karyanya. Saya senang setiap kali menemukan karakter tokoh-tokohnya
diwakili karakter dalam pewayangan atau cerita alkitab. Jujur, saya mulai tertarik
pada sejarah (sesuatu yang saya benci semasa sekolah) dan budaya Indonesia
(yang selalu tak saya pedulikan) sejak membaca karya-karyanya. Ia menularkan
kecintaan yang dalam terhadap Indonesia.
Cerita Cinta Enrico adalah
sebuah novel yang manis untuk dibaca pada Valentine's day. Namun bagi saya, ia
tak semanis kisah cinta Parang Jati dan Marja dalam Manjali dan Cakrabirawa.
Meski secara keseluruhan cerita Cerita Cinta Enrico jauh lebih indah ketimbang
Manjali dan Cakrabirawa, namun tak banyak narasi - narasi indah yang
menggetarkan dapat saya kutib seperti dalam Manjali dan Cakrabirawa. Kartu
pembatas halaman yang mengutip teks ini; "Hidup adalah permainan. Tapi
hidup juga tidak boleh dikuasai permainan." Bagi saya, tidak menggambarkan
keseluruhan cerita sebagaimana kartu pembatas halaman Manjali dan Cakrabirawa
yang mengutip (kebetulan yang tidak hanya kebetulan belaka) yang cukup mewakili
cerita di dalamnya.
Tapi terlepas dari hal itu,
saya sungguh merekomendasikan novel ini untuk dibaca. Kalau kau menyukai karya
yang berkualitas, bacalah karya-karya Ayu Utami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar