Minggu, 14 Juli 2019

Persiapan Menghadapi JST Interview Australia Awards Scholarship

Congratulation, you are selected!

(Photo by Tim Gouw on Unsplash)

Pekan kemarin, dua orang teman saya membagi berita baik bahwa mereka lolos seleksi administrasi Australia Awards Scholarship (AAS) dan meneriman undangan untuk Joint Selection Team (JST) interview and IELTS test.  

Seleksi selanjutnya mungkin akan segera tiba di pertengahan Juli ini. You might have been on cloud nine and cried out of happiness when pass the administration selection. Then, you might feel  nervous because of the JST interview and IELTS test. Tapi jangan kuatir, you’ll be fine.


Terkait tahap selanjutnya dalam proses seleksi, saya percaya para pemburu beasiswa sudah mengalokasikan waktu khusus untuk mempersiapkan diri. Masing-masing orang tentu punya cara sendiri terkait hal itu. Namun, ijinkan saya berbagi sedikit pengalaman terkait persiapan yang saya lakukan saat interview AAS tahun 2016. Semoga ada hal valuable yang bisa menambah referensi kalian.


Re-read your submitted application
Saya percaya kalian pasti menyimpan print out atau salinan aplikasi beasiswa yang telah kalian submit via Oasis. Semoga pula kalian telah membaca kembali supporting statements yang kalian tulis disana.

Bagi saya, supporting statements memuat keseriusan dan komitmen seseorang untuk melanjutkan pendidikan. Kamu pasti telah menyadari bahwa semua pertanyaan disana saling terkait. Pertanyaan pertama tentang bagaimana kita memilih universitas dan course merefleksikan bagaimana pengalaman-pengalaman profesional kita telah menuntun kita untuk mengidentifikasi persoalan dan menyadari kebutuhan kita untuk mengembangkan diri demi berkontribusi positif. Selanjutnya, hal tadi akan membantu kita merumuskan bentuk kontribusi apa yang bakal kita tawarkan setelah pulang ke Indonesia.

Dalam penyusunan supporting statements, saya mendapat bantuan beberapa teman untuk writing English concisely and properly. Hal ini memungkinkan adanya polesan pada bagaimana alamiahnya saya berbicara atau menulis. Karena itu, ketika membaca kembali aplikasi beasiswa, saya membuat catatan-catatan tentang aspek-aspek penting yang telah saya sampaikan dan apa saja hal penting yang mungkin belum sempat saya sampaikan. Hal ini akan membantu saya mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan klarifikasi yang bakal muncul ketika interview nanti.



Antisipasi Pertanyaan Yang Bakal Muncul
Menyambung pembahasan sebelumnya, saya kira penting bagi kita untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan yang bakal muncul. Terkait hal ini, beberapa teman telah berbaik hati membagi daftar pertanyaan yang sering muncul pada wawancara beasiswa. Saya juga menambahnya dengan mencari sharing pengalaman yang sama dari internet dan beberapa teman yang pernah menghadapi JST AAS.

Semua pertanyaan saya rencanakan jawabannya dengan mengetiknya di komputer. Saya melakukan hal ini karena saya menimbang kelemahan saya dalam berbicara. Saya biasanya terlalu asyik berbicara sampai lupa batasan. Saya juga sering terjebak untuk mengembangkan topik pembicaraan kemana-mana. Semua hal tampak penting bagi saya untuk dibicarakan. Namun saya menyadari bahwa interview hanya berlangsung paling lama dua puluh menit, jadi saya harus memastikan aspek-aspek penting yang ‘menjual’ dari diri saya harus sampai ke telinga interviewer.

Terkait hal itu, merencanakan jawaban membuat saya punya batasan apa saja yang perlu saya sampaikan jika ada pertanyaan tertentu.

Mari ambil contoh jika ada pertanyaan tentang proposed university and course. Bagi saya, kita tidak perlu lagi mengulang apa yang kita tulis di aplikasi. Pewawancara pasti sudah membaca aplikasi kita. Yang perlu kita lakukan adalah menegaskan kembali aspek penting disana ketika berbicara.

Misalnya, di aplikasi saya terkait topik itu, saya mengurai persoalan yang saya hadapi di tempat kerja dan memberi gambaran tentang area-area apa yang bisa saya tangani dengan berlatar belakang sarjana sains kimia. Tapi ada area lain yang butuh kemampuan lebih yang tampaknya bisa saya dapatkan ketika saya punya kesempatan belajar environmental science di dua universitas yang saya pilih. Saya bahkan menyebut spesifik beberapa matakuliah yang penting bagi pekerjaan saya dari kampus tersebut.

Namun ketika ditanya hal yang sama dalam interview, saya hanya menjawab, my future goal is mainly focus on bridging environmental data into proper management and policy. This is one of the biggest challenges that I found in my workplace. That’s why I found two proposed university in my application suit what I need. They provide subjects like GIS, ecological economics, or environmental impact assessment that can be beneficial for my contribution in environmental institution I worked for.

Kebetulan itu adalah pertanyaan pertama yang saya dapat saat interview. Lantas dari jawaban saya, interviewer bertanya apakah dalam pekerjaan, saya menggunakan GIS. Saya jawab tidak. Ia kemudian menanggapi bagaimana saya bisa yakin jika saya mampu belajar GIS sementara pekerjaan saya tidak pernah melibatkan GIS sama sekali. Saya agak terkejut saat pertanyaan itu muncul, tapi untungnya saya telah mempersiapkan jawabannya. Saat itu saya menjelaskan kembali karena saya sangat tertarik pada pentingnya data laboratorium dalam perumusan managemen dan kebijakan lingkungan, saya menemukan bahwa GIS bisa menjadi alternatif komunikasi data lingkungan yang efektif kepada masyarakat, pemerintah, atau pembuat kebijakan. Karena ketertarikan itu, saya seringkali membaca artikel-artikel di website ESRI. Misalnya, pernah ada satu proyek monitoring kualitas sungai di Afrika. Analisa parameter lapangan seperti yang sering kami lakukan dapat ditampilkan dalam bentuk peta kualitas lingkungan. Hal ini dapat membantu orang awam untuk memahami kondisi lingkungannya. Dengan mempelajari GIS saya bisa mengeksplorasi peluang itu di lingkungan kerja saya. Karena itu, saya telah mencoba membaca buku-buku atau artikel-artikel terkait, dan berdiskusi dengan teman-teman yang telah lebih dulu mempelajari hal tersebut.

Terlepas dari penjelasan yang serba panjang ini, tujuan utama saya mempersiapkan jawaban adalah untuk memastikan kepercayaan diri saya selama berbicara. Saya kenal benar diri saya, ketika nervous bicara saya cenderung tidak terkontrol, bisa saja saya harus menjawab A tapi ternyata C.

Kedua, paling tidak meski nervous, saya bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik. Kembali pada sharing sebelumnya, karena banyak teman telah membantu dalam penyusunan aplikasi, saya merasa perlu bahasa lisan saya sebaik aplikasi beasiswa saya. Hal ini bisa jadi aspek lain yang ‘menjual’ ketika kita berhadapan dengan interviewer, apalagi kita akan belajar di negara yang berbahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang mungkin belum begitu baik saat itu, saya pikir preparasi seperti ini perlu.



Dokumen-Dokumen Pendukung
Dulu saya juga mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung yang saya rasa penting untuk dibawa dalam interview. Kebetulan di aplikasi, saya menulis tentang kontribusi kecil saya salah satu bidang di tahun awal karir saya. Dulu saya sering kewalahan mencari dokumen lingkungan yang tercecer jika ada orang yang membutuhkannya. Jadi, saya berinisiatif membuat kode dokumen berdasarkan jenis usaha dan tahun pengesahan dokumen, kemudian membuat semacam accessible mini library yang memudahkan orang menemukan dokumen dan mengakses informasi. Saya mempersiapkan satu contoh dokumen dan membawanya saat interview.

Saya juga mempersiapkan satu contoh laporan monitoring yang sering saya kerjakan dan SOP lab, hanya untuk membantu penjelasan saya tentang pentingnya komunikasi data yang cenderung saintifik kepada orang awam atau yang baru mulai menekuni bidang lingkungan. Dokumen lain seperti bukti komunikasi dengan kampus tujuan juga saya siapkan.

Persiapan dokumen ini tidak wajib hanya saja saya berpikir dokumen adalah bentuk fisik yang bisa meringkas penjelasan jika ada tagihan pertanyaan terkait.

Saat hari interview, para interviewer memang tidak meminta dan tidak ada penjelasaan saya yang membutuhkan saya menunjukkan dokumen-dokumen tadi. Tapi setidaknya persiapan ini tidak sia-sia. Hanya bagian dari mengantisipasi kelemahan saya dalam penjelasan yang berbelit-belit dan membantu peningkatan kepercayaan diri.

(Photo by Austin Distel on Unsplash)

Mengecek Kembali Official Website Universitas Tujuan
Tampaknya saya terlalu well prepared sampai merasa perlu mengecek official website kampus tujuan saya. Tapi terus terang saya punya satu masalah terkait. Dulu saya memilih the University of South Australia (UniSA) dan Monash University. Program master yang saya tuju di UniSA mengalami setidaknya tiga kali revisi dalam setahun. Saat menyusun aplikasi beasiswa, ada perubahan nama jurusan dan struktur mata kuliah yang ditawar. Setelah submit aplikasi AAS, jurusan itu kembali direvisi. Perubahan-perubahan ini selain berdampak pada berubahnya mata kuliah yang ditawar, juga apakah jurusan itu masih boleh diambil oleh mahasiswa internasional. Tentu kita tidak mau melamar di jurusan yang no longer exist. In case that happens, we should prepare for an alternative.

Jangan sampai pula, interviewer lebih tahu tentang isu tadi dibandingkan kita yang akan melamar kesana. Memantau terus official website bisa jadi salah satu tanda keseriusan kita menggali informasi. Hal tambahan lain yang saya juga lakukan adalah mengikuti facebook page jurusan yang saya lamar. Ada tambahan informasi kecil yang bisa masuk dalam daftar persiapan, seperti aktivitas-aktivitas kampus yang pro sustainable initiatives atau Eco-friendly behavior.  Atau riset-riset terkait masalah lokal negara bagian mereka.


Pertanyaan Bisa Berasal Dari CV
Dari pengalaman interview, tampaknya pertanyaan-pertanyaan pewawancara tergantung pada jawaban-jawaban yang kita berikan dan dikait-kaitkan kemana-mana. Termasuk ke CV kita. Saya mengalami hal itu. Setelah penjelasan saya yang antusias tentang keterkaitan ilmu dan skills S1 saya dengan pekerjaan dan program master yang saya ambil. Pewawancara kemudian menggali pengalaman kerja saya selama setahun sebagai guru kimia dan bertanya apakah pekerjaan saya sekarang berbelok dari apa yang sebelumnya saya tekuni.

Namun saya menjelaskan bahwa tidak begitu, karena sebenarnya saya belajar di fakultas MIPA bukan FKIP, jadi saya tidak dididik untuk jadi guru. Namun saya mengambil peluang itu selagi saya mencari peluang kerja yang linear dengan bidang ilmu saya. Beruntungnya saya mendapatkannya. Tapi menjadi guru membantu saya untuk berkomunikasi dengan jauh lebih baik dengan orang-orang yang awam terhadap sains di lingkungan kerja saya karena tidak semua orang familiar dengan pekerjaan-pekerjaan lab atau data lingkungan yang banyak terminologi sainsnya.

Jadi, kuncinya adalah promote something positive that you got from past experience, for which it can help your personal contribution.


Latihan Wawancara
Latihan pertama adalah dengan cermin. Jadi saya mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri di dalam cermin dan menjawab juga bagi diri sendiri.

Setelah cukup percaya diri, saya berlatih wawancara dengan orang lain. Dulu saya mengandalkan bantuan para alumni AAS lewat kelas Berburu Beasiswa di Kupang. Praktek wawancara kali itu dibantu seorang alumni TESOL. Kemudian ada teman AAS awardee yang ambil master of education. Dua orang itu tidak benar-benar sebidang dengan saya, sehingga latihan wawancara dengan mereka bisa jadi membantu kita menakar kemampuan kita untuk menjelaskan sesuatu yang spesifik bidang kita kepada orang yang awam dengan bidang kita.
Di salah satu latihan wawancara, saya melakukannya bersama salah satu teman pemburu beasiswa yang juga akan mengambil master of environment namun dengan fokus study yang berbeda. Saya kira latihan ini membantu kami untuk saling menyumbang saran perbaikan bagi diri masing-masing.


(Photo by Romain V on Unsplash)

Do The Best, God Will do the Rest
Terakhir, terlepas dari apapun persiapan yang kita lakukan, pastikan sepanjang persiapan maupun di ruang interview, kamu menjadi versi terbaik dirimu, don’t pretend to be someone else. Saat interview, akan muncuk banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengejutkan atau berputar-putar. Jawaban kita harus merefleksikan bagaimana kita bukan bagaimana seharusnya kita. Jangan sampai kita terjebak mengarang sesuatu yang berakhir dengan kesan bahwa kita tidak konsisten menggambarkan siapa kita.

We will only have at least 20 minutes at an interview room, dalam waktu yang terbatas itu banyak hal di luar kendali kita. Jadi, tetap beriman, ora et labora. Do the best, let God do the rest.

Good luck!



Minggu, 08 Mei 2016

Mengapa Orang Memperkosa?

Sosial media tengah ramai dengan berita dari Bengkulu. Yuyun, seorang remaja 14 tahun diperkosa oleh beberapa pria dalam perjalanan pulang sekolah, kemudian dibunuh.

Sebuah kejadian tragis yang ramai-ramai dikutuk biadap. Limpah simpati diterima keluarga korban.

Jika Yuyun masih hidup, ia bakal menanggung penderitaan sebagai korban perkosaan sekaligus konsekuensi psikologi akibat ramainya pemberitaan. Tapi bukan untung sama sekali ia sudah tidak bernyawa lagi, sebab Yuyun adalah manusia yang berhak menikmati tahun-tahun panjang untuk bersekolah dan tumbuh sebagai perempuan yang diinginkannya; menjadi dewasa dalam hangat keluarganya, memiliki hidup yang baik dalam relasi dengan lingkungan tempat ia bertumbuh, dan mengejar cita-citanya.


(Photo by Mateus Campos Felipe on Unsplash)

”Mengapa orang memperkosa?”
Pertanyaan ini saya temukan di wall seorang teman yang membagi berita tragis dari Bengkulu itu.

Sebuah pertanyaan yang menarik!

Secara umum, ada sejumlah faktor yang menjadi motif para pelaku perkosaan.

Ada pelaku yang merasa terangsang lalu memperkosa, biasanya orang-orang yang dikenalnya seperti pacar, keluarga, dan teman (seductive rape).

Ada pelaku yang tidak mengejar kepuasan dari sebuah persetubuhan namun dari penyiksaan terhadap korban yang tidak didapatnya dalam hubungan seksual secara normal (sadistic rape).

Hal yang hampir serupa juga terjadi pada kasus-kasus anger rape, dimana pelaku tidak mengejar kepuasan bersetubuh tapi lebih kepada untuk mengungkapkan rasa marahnya kepada korban.
Sebagian pelaku juga ingin menunjukkan dominasinya terhadap korban (domination rape), seperti dalam kasus perkosaan majikan terhadap pembantu.

Terakhir, perkosaan bisa terjadi karena ada rasa ketergantungan korban terhadap pelaku secara ekonomi dan sosial sehingga hal ini terjadi tanpa adanya kekerasan oleh pelaku terhadap korban (exploitation rape), seperti perkosaan yang dilakukan atasan terhadap bawahannya atau majikan terhadap pembantunya.


Reaksi-Reaksi Terhadap Kabar Perkosaan
 Para simpatisan yang mengutuk tindakan-tindakan kekerasan seksual, secara praktis menyederhanakan alasan mengapa orang memperkosa dengan jawaban karena pelaku orang yang biadap dan tidak matang secara psikologis maupun spiritualis.


Tidak bisa kita pungkiri bahwa kekerasan seksual adalah sebuah kasus yang cukup kompleks, mengingat kejahatan terjadi karena ada niat pelaku dan ada kesempatan yang melapangkan realisasi niat bejat pelaku.

Maka, dalam riuh orang-orang yang mengutuk, sebagian orang tampak keterlaluan dengan memaklumi faktor-faktor pemicu kejahatan, mulai dari alasan pelaku serta kondisi lingkungan yang mendukungnya.

Lantas, hal ini sungguh membuat kita marah, seorang anak perempuan 14 tahun berjalan seorang diri sepulang sekolah, diperkosa di tengah jalan, lalu dibunuh! Kita mengutuk pemerkosa dan kita menyayangkan si dara yang harus berjalan sendiri setiap hari demi memangkas jarak rumah-sekolah dalam sebuah lingkungan sepi. Apakah kita juga perlu menyayangkan orang tua yang tidak mengantar jemput anaknya?


Saya pribadi lebih menyayangkan keistimewaan kita sebagai manusia, yang serba terbatas dalam banyak hal termasuk dalam mengendalikan diri kita untuk berbuat jahat atau membantah ancaman-ancaman kejahatan. Terkait kasus-kasus kejahatan seksual, saya kira pola pandang kita terhadap eksistensi dan posisi lelaki dan perempuan dalam relasi-relasi manusiawi telah mendorong cara-cara kita berperilaku dengan sesama. Hal ini bisa mendasari arogansi yang kuat untuk menguasai yang lemah.
Kebanyakan manusia sungguh penikmat hadiah-hadiah alamiah tanpa membuka luang untuk sungguh berefleksi, apalagi bertanggung jawab secara positif terhadap hal itu.



Maskulin vs Feminim
Secara alamiah, manusia dikelompokkan sebagai lelaki dan perempuan berdasarkan perbedaan anatomi organ reproduksi yang hadir dalam fungsi dan konsekuensi yang juga berbeda.

Organ reproduksi lelaki memungkinkan mereka ‘mencari dan mengadakan’, sementara perempuan ‘menunggu dan memelihara’. Lelaki memiliki penis sementara perempuan memiliki vagina. Lelaki memiliki sperma yang nanti membuahi sel telur di rahim perempuan. Perempuan akan mengandung dan melahirkan, lantas lelaki akan turut dalam tanggung jawab merawat kehidupan.

Sungguh sebuah peran yang luar biasa.

Lelaki dan perempuan tercipta sebagai partner kehidupan untuk saling melengkapi satu sama lain. Sebagaimana interaksi atom-atom pada tingkat mikroskopis yang didasari kecenderungan untuk melengkapi demi sebuah keseimbangan melalui serah terima elektron, manusia juga berperilaku serupa dalam relasi–relasi kehidupannya, yang kurang pada seseorang dilengkapi oleh yang lain.

Manusia yang cenderung memiliki keinginan serba tak terbatas dalam keterbatasannya untuk menangani segala hal dalam kehidupannya, hanya bisa menjadi sempurna dalam keterlibatannya dengan orang lain. Maka beragam relasi dalam kehidupan selalu mempertegas eksistensi manusia.


Namun, dalam keterbatasan manusia, pola pandang kita cenderung fokus pada satu sudut pandang sehingga kita abai pada sudut pandang – sudut pandang lain yang mungkin bisa membantu kita menjadi lebih seimbang secara psikologis dan spiritualis. Seperti ketidakmampuan kita untuk membebaskan diri kita dari budaya-budaya patriakal yang memicu ketidaksetaraan gender.

Bagi saya, tidak ada yang salah jika lelaki menuntut sebagai pemimpin dan perempuan melapangkan hal itu. Toh, dua orang dalam satu kapal harus memilih pemimpin atau berbagi tugas untuk memegang kemudi. Yang salah adalah ketika kita menggunakan perangkat-perangkat reproduksi demi membenarkan keangkuhan kita sebagai manusia.


Banyak lelaki berdiri dengan kepala terangkat angkuh karena mereka punya penis dan bisa memproduksi jutaan sel sperma yang melapangkan jutaan kemungkinan terbuahinya satu sel telur di rahim perempuan. Birahi mereka tidak tersembunyi sehingga kerap memaksa pemakluman bahwa birahi lelaki mesti dipuaskan, tidak mungkin untuk ditahan.

Hal itu memunculkan dorongan angkuh lelaki bahwa perempuan harus memuaskan lelaki. Lantas lelaki hadir sebagai ancaman selain sosok yang mesti pelindung. Lebih lanjut, tak sedikit lelaki terdorong untuk menguasai perempuan baik dalam berbagai relasi, entah itu sosial ekonomi maupun seksual. Lelaki bisa saja hadir dengan sejuta peluang untuk berlaku semena-mena terhadap perempuan.


Sementara itu, perempuan tercipta dengan anatomi reproduksi yang mendorong mereka lebih pasif. Jika lelaki memiliki ular yang pergerakannya bisa kita sadari, perempuan menjaga sebuah liang yang bersegel pula - hymen atau yang karib sebagai selaput dara. Sayangnya selaput itu tipis dan rentan, dan tidak terbentuk dari jaringan yang mungkin diperbarui jika koyak. Lantas masyarakat kita merujuk ukuran keperawanan pada selaput tipis rentan itu. Suatu hal yang menjadikan perempuan begitu istimewa sekaligus berpotensi diperlakukan tidak adil.


Banyak lelaki mencari perempuan baik-baik dengan mempersyaratkan keutuhan hymen. Perempuan dipandang tidak lagi terhormat jika kehilangan selaput tipis itu. Maka perempuan harus dijaga sekaligus menjaga diri sendiri. Sehingga, koyaknya hymen dalam masyarakat tertentu berarti hilangnya keperawanan sekaligus kehormatan.


Banyak dari kita juga terbatas dalam memahami bagaimana keistimewaan hymen. Ada hymen yang terlalu tipis dan begitu rentan koyak tanpa persetubuhan, misalnya karena kecelakaan, bersepeda, atau menunggang kuda. Ada pula hymen yang tidak mudah koyak, bahkan lewat persetubuhan sekalipun. Keterbatasan pemahaman mendorong perilaku-perilaku yang cenderung tidak adil dalam penetapan ukuran-ukuran keperawanan atau kehormatan perempuan.


Perempuan akhirnya harus menanggung konsekuensi yang berat mengingat lelaki tidak bersegel selaput keperjakaan. Sekali lagi, ini juga mendorong sebagian besar lelaki berlaku semena-mena karena mereka tak bersegel selaput keperjakaan sehingga kehormatan lelaki tidak bisa dituntut dari apakah ia pernah bersetubuh atau tidak. Malah, ketakperjakaan dipandang gentlement.


Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk arogansi lelaki yang berpikir mereka cukup kuat untuk menguasai perempuan. Tapi sesungguhnya memperkosa adalah tanda betapa lemah lelaki dalam menahan diri atau mengusahakan cara-cara terhormat untuk bersetubuh dengan seorang perempuan.


Maka, bukankah lebih adil jika tuntutan kehormatan harus berlaku setara pada lelaki dan perempuan? Oleh karena itu, jangan pakai keistimewaan perangkat reproduksi perempuan atau lelaki sebagai satu-satunya ukuran dalam menilai kehormatan seseorang.


Jadi, picik benar pendapat bahwa perempuan adalah pemicu utama perkosaan.

Mengapa kita harus mempersalahkan perempuan jika kita hidup dalam sebuah masyarakat heterogen, dimana lelaki dan perempuan hidup berdampingan? Mengapa pula kita harus mempersalahkan pakaian yang dikenakan perempuan jika kita hidup di bumi yang terus berkembang dan memungkinkan kita bahkan bisa mengakses berbagai pengetahuan tentang tubuh perempuan dan lelaki lewat media-media sosial?

Mengapa juga kita harus mempersalahkan perempuan yang berjalan sendiri atau tinggal sendiri di suatu tempat? Mengapa perempuan harus memperhatikan apa yang dikenakannya, apa yang dilakukannya, dan dimana ia berada demi menghindari perkosaan, sementara lelaki berlaku bebas terhadap pikiran-pikirannya? Mengapa kita menyayangkan ketidakmampuan perempuan menjaga diri dan memaklumi ketidakmampuan lelaki menahan napsunya?


Selain itu, picik juga jika kita berpikir bahwa perempuan bakal menikmati persetubuhan yang kriminal.

Mungkin dalam perspektif pemerkosa, pada awalnya ia memaksa persetubuhan lalu merasa nikmat. Tapi dalam perspektif korban tidak begitu. Tidak ada korban yang menikmati persetubuhan yang kriminal! Yang ada hanyalah rasa terhina, seseorang datang tanpa cinta, meneror, lalu tanpa permisi menyetubuhi.

Lantas ukuran kehormatan perempuan yang tidak adil dalam masyarakat menambah beban psikologis. Korban merasa ia sudah nista dan hancur. Karena itu, banyak korban memilih lebih baik tutup mulut daripada berperkara dengan pelaku. Menyuarakan perkosaan dipandang menyebarkan aib yang tidak hanya bagi korban tapi seluruh keluarga besarnya. Masyarakat mungkin lebih akan memandang kasihan pada korban daripada bangga ketika korban memperkarakan perkosaan.



Konsekuensi Kekerasan Seksual
Hal yang lebih menyedihkan jika korban adalah anak atau remaja.

Sampai pada usia Yuyun yang empatbelas tahun, anak dan remaja belum begitu berpengetahuan tentang hymen dan mengerti benar konsep-konsep keperawanan dalam masyarakat.

Jadi, betapa biadap kekerasan seksual terhadap anak dan remaja karena pelaku perkosaan hadir untuk membuat mereka lebih dulu mengerti rasa sakit sebuah persetubuhan yang kriminal sebelum mereka sugguh berpengetahuan tentang tubuh mereka dan mengerti benar gairah pada lawan jenis. Korban perkosaan akan terbebani secara psikologis.

Selain itu, visum kasus-kasus perkosaan bakal menambah rasa hina bagi korban, terutama jika dokter harus menilai tanda-tanda kejahatan seksual. Apalagi, jika korban harus berhadapan dengan prosedur pemeriksaan intra-vaginal.


Korban Perkosaan Lebih Butuh Dukungan Bukan Negative Judgment
Kekerasan seksual akan menimbulkan reaksi-reaksi traumatis kepada para korban dan kita tidak bisa terlalu yakin waktu mampu menyembuhkan para korban.

Untuk itu, cinta keluarga dan orang-orang terdekat, serta dukungan dalam bentuk apapun terhadap korban bakal membantu si korban secara psikologis, terutama untuk menerima diri mereka, mengubah sudut pandang mereka bahwa kehormatan mereka tidak praktis lenyap oleh perkosaan, melainkan mereka masih berhak untuk masa depan yang lebih baik. Termasuk juga, jangan lagi pelihara pikiran-pikiran picik yang memandang perempuan sebagai pemicu kejahatan.


Dalam kasus Yuyun, misalnya, mengapa kita harus menyayangkan ia pulang sekolah seorang diri atau mengapa tidak ada yang mengantar ia? Ada tuntutan-tuntutan hidup yang memaksa anak empatbelas tahun harus berlaku mandiri dalam beberapa hal.

Kita sepakat mengutuk biadap para pemerkosa yang berlaku jahat selagi ada kesempatan. Mereka hanya sekumpulan orang-orang yang tidak matang pikirannya.

Tapi, tentu saja, kejahatan ada dimana-mana dan orang harus waspada. Kita memang harus mengambil pelajaran berharga dari peristiwa ini.

Saya tidak tahu, bagaimana perkosaan bisa direduksi sementara kejahatan seksual mesti kita maklumi ada di tengah masyarakat yang heterogen. Mengubah cara pandang lelaki terhadap relasi mereka dengan perempuan memang bukan perkara mudah.

Tapi saya berharap, suara-suara kutukan terhadap kejahatan-kejahatan seksual bisa menjadi kampanye nyaring yang membuat lelaki dan perempuan saling menjaga, dan para korban bisa lebih kuat melalui penderitaannya tanpa memandang rendah diri mereka sebagai yang nista dan tak berhak untuk masa depan yang lebih baik.



Dedicated to rape victims.
Thanks Adelaide Ratukore dan Yumi Haning for discussion inspiring this writing.


Senin, 22 Februari 2016

Berburu Beasiswa: Menulis Supporting Statement

Dalam application form beasiswa selalu termuat sejumlah pertanyaan penuntun untuk menggali alasan kita melamar beasiswa. 

Biasanya kita harus menulis sebuah essay atau supporting statement. Ini adalah komponen penting yang mendorong panitia seleksi untuk melirik kita, sehingga perlu ada suatu tulisan yang benar-benar menjual.


(Photo by Glenn Carstens-Peters on Unsplash)

Sebuah tulisan yang matang tidak bisa dihasilkan dengan sistem kebut semalam atau sepekan, apalagi bagi kita yang tidak terbiasa menulis.

Bahasa tulis relatif lebih sulit daripada bahasa lisan, apalagi untuk tujuan menarik perhatian panitia seleksi beasiswa. Tim seleksi tidak mengenal siapa kita sehingga kita harus pandai-pandai dalam menarik perhatian mereka. Pola penulisan harus diusahakan mengalur agar enak dibaca dan dipahami, serta isi tulisan harus fokus menjawab pertanyaan yang disampaikan.

Berikut ini, beberapa tips menulis aplikasi beasiswa, ini bukan sebuah pola standar tapi semoga bisa membantu terutama bagi kita yang tidak terbiasa menulis.

#1. Buat perencanaan sebelum menulis
Jika sungguh buntu darimana kita harus mulai menulis sementara kita sudah penuh ide, maka perencanaan seperti membuat kerangka penulisan atau mind mapping akan sangat berguna.

Tulis saja semua ide yang ada di kepala kita.

Untuk lebih fokus, baca berulang kali pertanyaan yang diajukan, misalnya how you choose your proposed course and university? Inti pertanyaannya adalah proses sehingga kita sampai menentukan pilihan kita. Informasi dalam tulisan harus tentang itu.

Biasanya proses memilih terkait dengan sejumlah pertimbangan yang mendasari pilihan-pilihan kita. Kita bisa memulai dari pilihan kita apa.

Misalnya, saya berencana mengambil S2 kesehatan lingkungan, terutama kesehatan di lingkungan kerja karena saya bekerja untuk memberikan pelatihan terkait hal itu, latar belakang pendidikan sebelumnya mendukung (misalnya S1 kesehatan masyarakat dan D3 kesehatan lingkungan). Saya punya pengalaman kerja dan ingin mengembangkan diri untuk berkontribusi lebih karena ada sejumlah persoalan A, B, C, yang mendorong saya untuk menemukan solusi. Demi tujuan itu, saya mulai mengunjungi website dari sejumlah universitas-universitas dan mencari program yang suitable dengan kebutuhan saya. Lalu saya memilih universitas X dan Y karena memenuhi kebutuhan saya. 

Buat saja sebanyak mungkin perencanaan lalu kumpulkan point-point yang bisa digabung dalam satu paragraf. Dengan demikian kita telah mencoba menggorganisasi secara sistematis jawaban kita.  


#2. Mulai menulis
Biasanya jika kerangka penulisan sudah baik, proses menulis jadi lebih mudah.

Sekali fokus pada pertanyaan, maka jawaban kita tidak akan melenceng. Jangan memberikan informasi tambahan yang tidak perlu.

Demi alur yang baik, usahakan ada kaitan antar kalimat. Normalnya, satu paragraf terdiri dari satu kalimat utama dan kalimat-kalimat penjelas. Kalimat utama bisa di awal paragraf lalu disusul kalimat penjelas atau di akhir paragraf setelah sejumlah kalimat penjelas. Pastikan hal ini ketika menulis. Usahakan kita menulis sebaik kita menerangkan sesuatu secara lisan kepada orang lain. 

Jaga agar emosi kita stabil, dalam artian begini, jangan sampai kebergairahan kita dalam menyampaikan ide menutup keteraturan kita dalam berbahasa. Emosi yang tidak terkendali bisa menghasilkan tulisan yang menguasai kita secara emosional tapi menjadi penjelasan amburadul yang dibaca orang lain.

Menulis ibaratnya membuat sebuah kalung manik-manik. Ide-ide ibarat manik-manik. Orang mungkin tertarik pada manik-manik tapi seratus manik-manik yang tersebar di atas meja tidak lebih menarik daripada ketika semua dirangkai menjadi sesuatu.

Seni menulis seperti seni merangkai manik-manik. Kita harus menyambungnya dengan tali (dalam hal ini misalnya pilih kata penyambung yang sesuai untuk mengaitkan ide), dan membuat suatu pola yang menarik (organisasi kalimat yang baik). Asal-asalan dalam merangkai manik–manik menjadi kalung akan berakhir dengan membuat orang melihat sebuah kalung, tapi improvisasi bentuk akan membuat orang kagum pada kalung yang tak biasa. Demikian, sebuah tulisan menarik para pembaca.
Posisikan diri kita sebagai penulis yang ingin menerangkan sesuatu pada seseorang yang demikian awam, sehingga kita butuh kehati-hatian dalam memilih kata dan mengorganisasi kalimat.

Perhatikan syarat penulisan, seperti jumlah kata dan jumlah karakter. Bila ada ketentuan jumlah kata dan karakter, rujuklah ke jumlah karakter, bisa jadi jumlah kata kita belum mencapai batas maksimum tapi karakternya telah terlampaui. Periksa selalu ini. Untuk lamaran yang disampaikan lewat sebuah sistem online ketentuan ini mempengaruhi apakah berkas lamaran kita bisa diterima sistem atau tidak.


#3. Pengendapan
Biasanya usai menulis, kita selalu puas karena telah berhasil menyelesaikan sesuatu.

Tapi jangan langsung percaya diri.

Endapkan tulisan itu beberapa lama sebelum diteliti kembali. Ini memberi ruang bagi emosi kita untuk mengambil jarak dari hasil yang membuat kita bergairah. Setelah kita cukup tentram, ambil kembali tulisan itu dan baca kembali untuk memastikan tulisan kita sungguh menjawab tujuan penulisan tersebut.


#4. Swaediting
Begitu membaca kembali, periksa kembali tanda baca dan efisiensi penggunaan kata dalam kalimat.

Dalam bahasa asing, grammar dan vocabulary wajib diperhatikan. Jangan sampai ada error. Tulisan pendek yang padat dan berisi jauh lebih baik daripada tulisan yang panjang tapi bertele-tele.

Evaluasi, apakah kita cukup mengerti dengan tulisan kita, jika kita merasa tidak mengerti dan tidak merasa tertarik, apalagi orang lain yang membacanya. Pastikan berulang kali bahwa tulisan itu sungguh adalah tulisan yang dapat dimengerti dan menarik untuk dibaca.


#5. Minta koreksi dari orang lain
Jangan malu memberi tulisan kita untuk dibaca orang lain.

Temukan orang yang cukup kompeten untuk membaca tulisan kita dan memberi koreksi yang bermanfaat bagi penyempurnaan tulisan kita. 


Closing Statement
Tuntutan menulis menjadi penting dalam proses melamar beasiswa karena merupakan bagian yang menunjukkan keseriusan kita dalam berburu beasiswa. Jadi, selamat berjuang dan good luck!