Minggu, 08 Mei 2016

Mengapa Orang Memperkosa?

Sosial media tengah ramai dengan berita dari Bengkulu. Yuyun, seorang remaja 14 tahun diperkosa oleh beberapa pria dalam perjalanan pulang sekolah, kemudian dibunuh.

Sebuah kejadian tragis yang ramai-ramai dikutuk biadap. Limpah simpati diterima keluarga korban.

Jika Yuyun masih hidup, ia bakal menanggung penderitaan sebagai korban perkosaan sekaligus konsekuensi psikologi akibat ramainya pemberitaan. Tapi bukan untung sama sekali ia sudah tidak bernyawa lagi, sebab Yuyun adalah manusia yang berhak menikmati tahun-tahun panjang untuk bersekolah dan tumbuh sebagai perempuan yang diinginkannya; menjadi dewasa dalam hangat keluarganya, memiliki hidup yang baik dalam relasi dengan lingkungan tempat ia bertumbuh, dan mengejar cita-citanya.


(Photo by Mateus Campos Felipe on Unsplash)

”Mengapa orang memperkosa?”
Pertanyaan ini saya temukan di wall seorang teman yang membagi berita tragis dari Bengkulu itu.

Sebuah pertanyaan yang menarik!

Secara umum, ada sejumlah faktor yang menjadi motif para pelaku perkosaan.

Ada pelaku yang merasa terangsang lalu memperkosa, biasanya orang-orang yang dikenalnya seperti pacar, keluarga, dan teman (seductive rape).

Ada pelaku yang tidak mengejar kepuasan dari sebuah persetubuhan namun dari penyiksaan terhadap korban yang tidak didapatnya dalam hubungan seksual secara normal (sadistic rape).

Hal yang hampir serupa juga terjadi pada kasus-kasus anger rape, dimana pelaku tidak mengejar kepuasan bersetubuh tapi lebih kepada untuk mengungkapkan rasa marahnya kepada korban.
Sebagian pelaku juga ingin menunjukkan dominasinya terhadap korban (domination rape), seperti dalam kasus perkosaan majikan terhadap pembantu.

Terakhir, perkosaan bisa terjadi karena ada rasa ketergantungan korban terhadap pelaku secara ekonomi dan sosial sehingga hal ini terjadi tanpa adanya kekerasan oleh pelaku terhadap korban (exploitation rape), seperti perkosaan yang dilakukan atasan terhadap bawahannya atau majikan terhadap pembantunya.


Reaksi-Reaksi Terhadap Kabar Perkosaan
 Para simpatisan yang mengutuk tindakan-tindakan kekerasan seksual, secara praktis menyederhanakan alasan mengapa orang memperkosa dengan jawaban karena pelaku orang yang biadap dan tidak matang secara psikologis maupun spiritualis.


Tidak bisa kita pungkiri bahwa kekerasan seksual adalah sebuah kasus yang cukup kompleks, mengingat kejahatan terjadi karena ada niat pelaku dan ada kesempatan yang melapangkan realisasi niat bejat pelaku.

Maka, dalam riuh orang-orang yang mengutuk, sebagian orang tampak keterlaluan dengan memaklumi faktor-faktor pemicu kejahatan, mulai dari alasan pelaku serta kondisi lingkungan yang mendukungnya.

Lantas, hal ini sungguh membuat kita marah, seorang anak perempuan 14 tahun berjalan seorang diri sepulang sekolah, diperkosa di tengah jalan, lalu dibunuh! Kita mengutuk pemerkosa dan kita menyayangkan si dara yang harus berjalan sendiri setiap hari demi memangkas jarak rumah-sekolah dalam sebuah lingkungan sepi. Apakah kita juga perlu menyayangkan orang tua yang tidak mengantar jemput anaknya?


Saya pribadi lebih menyayangkan keistimewaan kita sebagai manusia, yang serba terbatas dalam banyak hal termasuk dalam mengendalikan diri kita untuk berbuat jahat atau membantah ancaman-ancaman kejahatan. Terkait kasus-kasus kejahatan seksual, saya kira pola pandang kita terhadap eksistensi dan posisi lelaki dan perempuan dalam relasi-relasi manusiawi telah mendorong cara-cara kita berperilaku dengan sesama. Hal ini bisa mendasari arogansi yang kuat untuk menguasai yang lemah.
Kebanyakan manusia sungguh penikmat hadiah-hadiah alamiah tanpa membuka luang untuk sungguh berefleksi, apalagi bertanggung jawab secara positif terhadap hal itu.



Maskulin vs Feminim
Secara alamiah, manusia dikelompokkan sebagai lelaki dan perempuan berdasarkan perbedaan anatomi organ reproduksi yang hadir dalam fungsi dan konsekuensi yang juga berbeda.

Organ reproduksi lelaki memungkinkan mereka ‘mencari dan mengadakan’, sementara perempuan ‘menunggu dan memelihara’. Lelaki memiliki penis sementara perempuan memiliki vagina. Lelaki memiliki sperma yang nanti membuahi sel telur di rahim perempuan. Perempuan akan mengandung dan melahirkan, lantas lelaki akan turut dalam tanggung jawab merawat kehidupan.

Sungguh sebuah peran yang luar biasa.

Lelaki dan perempuan tercipta sebagai partner kehidupan untuk saling melengkapi satu sama lain. Sebagaimana interaksi atom-atom pada tingkat mikroskopis yang didasari kecenderungan untuk melengkapi demi sebuah keseimbangan melalui serah terima elektron, manusia juga berperilaku serupa dalam relasi–relasi kehidupannya, yang kurang pada seseorang dilengkapi oleh yang lain.

Manusia yang cenderung memiliki keinginan serba tak terbatas dalam keterbatasannya untuk menangani segala hal dalam kehidupannya, hanya bisa menjadi sempurna dalam keterlibatannya dengan orang lain. Maka beragam relasi dalam kehidupan selalu mempertegas eksistensi manusia.


Namun, dalam keterbatasan manusia, pola pandang kita cenderung fokus pada satu sudut pandang sehingga kita abai pada sudut pandang – sudut pandang lain yang mungkin bisa membantu kita menjadi lebih seimbang secara psikologis dan spiritualis. Seperti ketidakmampuan kita untuk membebaskan diri kita dari budaya-budaya patriakal yang memicu ketidaksetaraan gender.

Bagi saya, tidak ada yang salah jika lelaki menuntut sebagai pemimpin dan perempuan melapangkan hal itu. Toh, dua orang dalam satu kapal harus memilih pemimpin atau berbagi tugas untuk memegang kemudi. Yang salah adalah ketika kita menggunakan perangkat-perangkat reproduksi demi membenarkan keangkuhan kita sebagai manusia.


Banyak lelaki berdiri dengan kepala terangkat angkuh karena mereka punya penis dan bisa memproduksi jutaan sel sperma yang melapangkan jutaan kemungkinan terbuahinya satu sel telur di rahim perempuan. Birahi mereka tidak tersembunyi sehingga kerap memaksa pemakluman bahwa birahi lelaki mesti dipuaskan, tidak mungkin untuk ditahan.

Hal itu memunculkan dorongan angkuh lelaki bahwa perempuan harus memuaskan lelaki. Lantas lelaki hadir sebagai ancaman selain sosok yang mesti pelindung. Lebih lanjut, tak sedikit lelaki terdorong untuk menguasai perempuan baik dalam berbagai relasi, entah itu sosial ekonomi maupun seksual. Lelaki bisa saja hadir dengan sejuta peluang untuk berlaku semena-mena terhadap perempuan.


Sementara itu, perempuan tercipta dengan anatomi reproduksi yang mendorong mereka lebih pasif. Jika lelaki memiliki ular yang pergerakannya bisa kita sadari, perempuan menjaga sebuah liang yang bersegel pula - hymen atau yang karib sebagai selaput dara. Sayangnya selaput itu tipis dan rentan, dan tidak terbentuk dari jaringan yang mungkin diperbarui jika koyak. Lantas masyarakat kita merujuk ukuran keperawanan pada selaput tipis rentan itu. Suatu hal yang menjadikan perempuan begitu istimewa sekaligus berpotensi diperlakukan tidak adil.


Banyak lelaki mencari perempuan baik-baik dengan mempersyaratkan keutuhan hymen. Perempuan dipandang tidak lagi terhormat jika kehilangan selaput tipis itu. Maka perempuan harus dijaga sekaligus menjaga diri sendiri. Sehingga, koyaknya hymen dalam masyarakat tertentu berarti hilangnya keperawanan sekaligus kehormatan.


Banyak dari kita juga terbatas dalam memahami bagaimana keistimewaan hymen. Ada hymen yang terlalu tipis dan begitu rentan koyak tanpa persetubuhan, misalnya karena kecelakaan, bersepeda, atau menunggang kuda. Ada pula hymen yang tidak mudah koyak, bahkan lewat persetubuhan sekalipun. Keterbatasan pemahaman mendorong perilaku-perilaku yang cenderung tidak adil dalam penetapan ukuran-ukuran keperawanan atau kehormatan perempuan.


Perempuan akhirnya harus menanggung konsekuensi yang berat mengingat lelaki tidak bersegel selaput keperjakaan. Sekali lagi, ini juga mendorong sebagian besar lelaki berlaku semena-mena karena mereka tak bersegel selaput keperjakaan sehingga kehormatan lelaki tidak bisa dituntut dari apakah ia pernah bersetubuh atau tidak. Malah, ketakperjakaan dipandang gentlement.


Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk arogansi lelaki yang berpikir mereka cukup kuat untuk menguasai perempuan. Tapi sesungguhnya memperkosa adalah tanda betapa lemah lelaki dalam menahan diri atau mengusahakan cara-cara terhormat untuk bersetubuh dengan seorang perempuan.


Maka, bukankah lebih adil jika tuntutan kehormatan harus berlaku setara pada lelaki dan perempuan? Oleh karena itu, jangan pakai keistimewaan perangkat reproduksi perempuan atau lelaki sebagai satu-satunya ukuran dalam menilai kehormatan seseorang.


Jadi, picik benar pendapat bahwa perempuan adalah pemicu utama perkosaan.

Mengapa kita harus mempersalahkan perempuan jika kita hidup dalam sebuah masyarakat heterogen, dimana lelaki dan perempuan hidup berdampingan? Mengapa pula kita harus mempersalahkan pakaian yang dikenakan perempuan jika kita hidup di bumi yang terus berkembang dan memungkinkan kita bahkan bisa mengakses berbagai pengetahuan tentang tubuh perempuan dan lelaki lewat media-media sosial?

Mengapa juga kita harus mempersalahkan perempuan yang berjalan sendiri atau tinggal sendiri di suatu tempat? Mengapa perempuan harus memperhatikan apa yang dikenakannya, apa yang dilakukannya, dan dimana ia berada demi menghindari perkosaan, sementara lelaki berlaku bebas terhadap pikiran-pikirannya? Mengapa kita menyayangkan ketidakmampuan perempuan menjaga diri dan memaklumi ketidakmampuan lelaki menahan napsunya?


Selain itu, picik juga jika kita berpikir bahwa perempuan bakal menikmati persetubuhan yang kriminal.

Mungkin dalam perspektif pemerkosa, pada awalnya ia memaksa persetubuhan lalu merasa nikmat. Tapi dalam perspektif korban tidak begitu. Tidak ada korban yang menikmati persetubuhan yang kriminal! Yang ada hanyalah rasa terhina, seseorang datang tanpa cinta, meneror, lalu tanpa permisi menyetubuhi.

Lantas ukuran kehormatan perempuan yang tidak adil dalam masyarakat menambah beban psikologis. Korban merasa ia sudah nista dan hancur. Karena itu, banyak korban memilih lebih baik tutup mulut daripada berperkara dengan pelaku. Menyuarakan perkosaan dipandang menyebarkan aib yang tidak hanya bagi korban tapi seluruh keluarga besarnya. Masyarakat mungkin lebih akan memandang kasihan pada korban daripada bangga ketika korban memperkarakan perkosaan.



Konsekuensi Kekerasan Seksual
Hal yang lebih menyedihkan jika korban adalah anak atau remaja.

Sampai pada usia Yuyun yang empatbelas tahun, anak dan remaja belum begitu berpengetahuan tentang hymen dan mengerti benar konsep-konsep keperawanan dalam masyarakat.

Jadi, betapa biadap kekerasan seksual terhadap anak dan remaja karena pelaku perkosaan hadir untuk membuat mereka lebih dulu mengerti rasa sakit sebuah persetubuhan yang kriminal sebelum mereka sugguh berpengetahuan tentang tubuh mereka dan mengerti benar gairah pada lawan jenis. Korban perkosaan akan terbebani secara psikologis.

Selain itu, visum kasus-kasus perkosaan bakal menambah rasa hina bagi korban, terutama jika dokter harus menilai tanda-tanda kejahatan seksual. Apalagi, jika korban harus berhadapan dengan prosedur pemeriksaan intra-vaginal.


Korban Perkosaan Lebih Butuh Dukungan Bukan Negative Judgment
Kekerasan seksual akan menimbulkan reaksi-reaksi traumatis kepada para korban dan kita tidak bisa terlalu yakin waktu mampu menyembuhkan para korban.

Untuk itu, cinta keluarga dan orang-orang terdekat, serta dukungan dalam bentuk apapun terhadap korban bakal membantu si korban secara psikologis, terutama untuk menerima diri mereka, mengubah sudut pandang mereka bahwa kehormatan mereka tidak praktis lenyap oleh perkosaan, melainkan mereka masih berhak untuk masa depan yang lebih baik. Termasuk juga, jangan lagi pelihara pikiran-pikiran picik yang memandang perempuan sebagai pemicu kejahatan.


Dalam kasus Yuyun, misalnya, mengapa kita harus menyayangkan ia pulang sekolah seorang diri atau mengapa tidak ada yang mengantar ia? Ada tuntutan-tuntutan hidup yang memaksa anak empatbelas tahun harus berlaku mandiri dalam beberapa hal.

Kita sepakat mengutuk biadap para pemerkosa yang berlaku jahat selagi ada kesempatan. Mereka hanya sekumpulan orang-orang yang tidak matang pikirannya.

Tapi, tentu saja, kejahatan ada dimana-mana dan orang harus waspada. Kita memang harus mengambil pelajaran berharga dari peristiwa ini.

Saya tidak tahu, bagaimana perkosaan bisa direduksi sementara kejahatan seksual mesti kita maklumi ada di tengah masyarakat yang heterogen. Mengubah cara pandang lelaki terhadap relasi mereka dengan perempuan memang bukan perkara mudah.

Tapi saya berharap, suara-suara kutukan terhadap kejahatan-kejahatan seksual bisa menjadi kampanye nyaring yang membuat lelaki dan perempuan saling menjaga, dan para korban bisa lebih kuat melalui penderitaannya tanpa memandang rendah diri mereka sebagai yang nista dan tak berhak untuk masa depan yang lebih baik.



Dedicated to rape victims.
Thanks Adelaide Ratukore dan Yumi Haning for discussion inspiring this writing.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar