Sosial media tengah
ramai dengan berita dari Bengkulu. Yuyun, seorang remaja 14 tahun diperkosa
oleh beberapa pria dalam perjalanan pulang sekolah, kemudian dibunuh.
Sebuah kejadian
tragis yang ramai-ramai dikutuk biadap. Limpah simpati diterima keluarga
korban.
Jika Yuyun masih
hidup, ia bakal menanggung penderitaan sebagai korban perkosaan sekaligus
konsekuensi psikologi akibat ramainya pemberitaan. Tapi bukan untung sama
sekali ia sudah tidak bernyawa lagi, sebab Yuyun adalah manusia yang berhak
menikmati tahun-tahun panjang untuk bersekolah dan tumbuh sebagai perempuan yang
diinginkannya; menjadi dewasa dalam hangat keluarganya, memiliki hidup yang baik
dalam relasi dengan lingkungan tempat ia bertumbuh, dan mengejar cita-citanya.
(Photo by Mateus Campos Felipe on Unsplash) |
”Mengapa orang
memperkosa?”
Pertanyaan ini saya
temukan di wall seorang teman yang membagi berita tragis dari
Bengkulu itu.
Sebuah pertanyaan yang menarik!
Secara umum, ada sejumlah faktor yang menjadi
motif para pelaku perkosaan.
Ada pelaku yang merasa terangsang lalu memperkosa,
biasanya orang-orang yang dikenalnya seperti pacar, keluarga, dan teman (seductive
rape).
Ada pelaku yang tidak mengejar kepuasan dari
sebuah persetubuhan namun dari penyiksaan terhadap korban yang tidak didapatnya
dalam hubungan seksual secara normal (sadistic rape).
Hal yang hampir serupa juga terjadi pada
kasus-kasus anger rape, dimana pelaku tidak mengejar kepuasan bersetubuh
tapi lebih kepada untuk mengungkapkan rasa marahnya kepada korban.
Sebagian pelaku juga ingin menunjukkan dominasinya
terhadap korban (domination rape), seperti dalam kasus perkosaan majikan
terhadap pembantu.
Terakhir, perkosaan bisa terjadi karena ada rasa
ketergantungan korban terhadap pelaku secara ekonomi dan sosial sehingga hal
ini terjadi tanpa adanya kekerasan oleh pelaku terhadap korban (exploitation
rape), seperti perkosaan yang dilakukan atasan terhadap bawahannya atau
majikan terhadap pembantunya.
Reaksi-Reaksi
Terhadap Kabar Perkosaan
Para simpatisan yang mengutuk tindakan-tindakan
kekerasan seksual, secara praktis menyederhanakan alasan “mengapa orang memperkosa” dengan jawaban karena pelaku orang yang biadap
dan tidak matang secara psikologis maupun spiritualis.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kekerasan seksual
adalah sebuah kasus yang cukup kompleks, mengingat kejahatan terjadi karena ada
niat pelaku dan ada kesempatan yang melapangkan realisasi niat bejat pelaku.
Maka, dalam riuh orang-orang yang mengutuk,
sebagian orang tampak keterlaluan dengan memaklumi faktor-faktor pemicu
kejahatan, mulai dari alasan pelaku serta kondisi lingkungan yang mendukungnya.
Lantas, hal ini sungguh membuat kita marah,
seorang anak perempuan 14 tahun berjalan seorang diri sepulang sekolah,
diperkosa di tengah jalan, lalu dibunuh! Kita mengutuk pemerkosa dan kita
menyayangkan si dara yang harus berjalan sendiri setiap hari demi memangkas
jarak rumah-sekolah dalam sebuah lingkungan sepi. Apakah kita juga perlu
menyayangkan orang tua yang tidak mengantar jemput anaknya?
Saya pribadi lebih menyayangkan keistimewaan kita
sebagai manusia, yang serba terbatas dalam banyak hal termasuk dalam
mengendalikan diri kita untuk berbuat jahat atau membantah ancaman-ancaman
kejahatan. Terkait kasus-kasus kejahatan seksual, saya kira pola pandang kita
terhadap eksistensi dan posisi lelaki dan perempuan dalam relasi-relasi
manusiawi telah mendorong cara-cara kita berperilaku dengan sesama. Hal ini
bisa mendasari arogansi yang kuat untuk menguasai yang lemah.
Kebanyakan manusia sungguh penikmat hadiah-hadiah
alamiah tanpa membuka luang untuk sungguh berefleksi, apalagi bertanggung jawab
secara positif terhadap hal itu.
Maskulin vs Feminim
Secara alamiah, manusia dikelompokkan sebagai
lelaki dan perempuan berdasarkan perbedaan anatomi organ reproduksi yang hadir
dalam fungsi dan konsekuensi yang juga berbeda.
Organ reproduksi lelaki memungkinkan mereka
‘mencari dan mengadakan’, sementara perempuan ‘menunggu dan memelihara’. Lelaki
memiliki penis sementara perempuan memiliki vagina. Lelaki memiliki sperma yang
nanti membuahi sel telur di rahim perempuan. Perempuan akan mengandung dan
melahirkan, lantas lelaki akan turut dalam tanggung jawab merawat kehidupan.
Sungguh sebuah peran yang luar biasa.
Lelaki dan perempuan tercipta sebagai partner kehidupan
untuk saling melengkapi satu sama lain. Sebagaimana interaksi atom-atom pada
tingkat mikroskopis yang didasari kecenderungan untuk melengkapi demi sebuah
keseimbangan melalui serah terima elektron, manusia juga berperilaku serupa
dalam relasi–relasi kehidupannya, yang kurang pada seseorang dilengkapi oleh
yang lain.
Manusia
yang cenderung memiliki keinginan serba tak terbatas dalam keterbatasannya
untuk menangani segala hal dalam kehidupannya, hanya bisa menjadi sempurna
dalam keterlibatannya dengan orang lain. Maka beragam relasi dalam kehidupan
selalu mempertegas eksistensi manusia.
Namun, dalam keterbatasan manusia, pola pandang
kita cenderung fokus pada satu sudut pandang sehingga kita abai pada sudut
pandang – sudut pandang lain yang mungkin bisa membantu kita menjadi lebih
seimbang secara psikologis dan spiritualis. Seperti ketidakmampuan kita untuk
membebaskan diri kita dari budaya-budaya patriakal yang memicu ketidaksetaraan
gender.
Bagi saya, tidak ada yang salah jika lelaki
menuntut sebagai pemimpin dan perempuan melapangkan hal itu. Toh, dua orang
dalam satu kapal harus memilih pemimpin atau berbagi tugas untuk memegang
kemudi. Yang salah adalah ketika kita menggunakan perangkat-perangkat
reproduksi demi membenarkan keangkuhan kita sebagai manusia.
Banyak lelaki berdiri dengan kepala terangkat
angkuh karena mereka punya penis dan bisa memproduksi jutaan sel sperma yang
melapangkan jutaan kemungkinan terbuahinya satu sel telur di rahim perempuan.
Birahi mereka tidak tersembunyi sehingga kerap memaksa pemakluman bahwa birahi
lelaki mesti dipuaskan, tidak mungkin untuk ditahan.
Hal itu memunculkan dorongan angkuh lelaki bahwa
perempuan harus memuaskan lelaki. Lantas lelaki hadir sebagai ancaman selain
sosok yang mesti pelindung. Lebih lanjut, tak sedikit lelaki terdorong untuk
menguasai perempuan baik dalam berbagai relasi, entah itu sosial ekonomi maupun
seksual. Lelaki bisa saja hadir dengan sejuta peluang untuk berlaku semena-mena
terhadap perempuan.
Sementara itu, perempuan tercipta dengan anatomi
reproduksi yang mendorong mereka lebih pasif. Jika lelaki memiliki ular yang
pergerakannya bisa kita sadari, perempuan menjaga sebuah liang yang bersegel
pula - hymen atau yang karib sebagai selaput dara. Sayangnya
selaput itu tipis dan rentan, dan tidak terbentuk dari jaringan yang mungkin
diperbarui jika koyak. Lantas masyarakat kita merujuk ukuran keperawanan pada
selaput tipis rentan itu. Suatu hal yang menjadikan perempuan begitu istimewa
sekaligus berpotensi diperlakukan tidak adil.
Banyak lelaki mencari perempuan baik-baik dengan
mempersyaratkan keutuhan hymen. Perempuan dipandang tidak lagi terhormat jika
kehilangan selaput tipis itu. Maka perempuan harus dijaga sekaligus menjaga
diri sendiri. Sehingga, koyaknya hymen dalam masyarakat tertentu berarti hilangnya
keperawanan sekaligus kehormatan.
Banyak dari kita juga terbatas dalam memahami
bagaimana keistimewaan hymen. Ada hymen yang terlalu tipis dan begitu rentan koyak tanpa
persetubuhan, misalnya karena kecelakaan, bersepeda, atau menunggang kuda. Ada
pula hymen yang
tidak mudah koyak, bahkan lewat persetubuhan sekalipun. Keterbatasan pemahaman
mendorong perilaku-perilaku yang cenderung tidak adil dalam penetapan
ukuran-ukuran keperawanan atau kehormatan perempuan.
Perempuan akhirnya harus menanggung konsekuensi
yang berat mengingat lelaki tidak bersegel selaput keperjakaan. Sekali lagi,
ini juga mendorong sebagian besar lelaki berlaku semena-mena karena mereka tak
bersegel selaput keperjakaan sehingga kehormatan lelaki tidak bisa dituntut
dari apakah ia pernah bersetubuh atau tidak. Malah, ketakperjakaan dipandang gentlement.
Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan
bentuk arogansi lelaki yang berpikir mereka cukup kuat untuk menguasai
perempuan. Tapi sesungguhnya memperkosa adalah tanda betapa lemah lelaki dalam
menahan diri atau mengusahakan cara-cara terhormat untuk bersetubuh dengan
seorang perempuan.
Maka, bukankah lebih adil jika tuntutan kehormatan
harus berlaku setara pada lelaki dan perempuan? Oleh karena itu, jangan pakai
keistimewaan perangkat reproduksi perempuan atau lelaki sebagai satu-satunya
ukuran dalam menilai kehormatan seseorang.
Jadi, picik benar pendapat bahwa perempuan adalah
pemicu utama perkosaan.
Mengapa kita harus mempersalahkan perempuan jika
kita hidup dalam sebuah masyarakat heterogen, dimana lelaki dan perempuan hidup
berdampingan? Mengapa pula kita harus mempersalahkan pakaian yang dikenakan
perempuan jika kita hidup di bumi yang terus berkembang dan memungkinkan kita
bahkan bisa mengakses berbagai pengetahuan tentang tubuh perempuan dan lelaki
lewat media-media sosial?
Mengapa juga kita harus mempersalahkan perempuan
yang berjalan sendiri atau tinggal sendiri di suatu tempat? Mengapa perempuan
harus memperhatikan apa yang dikenakannya, apa yang dilakukannya, dan dimana ia
berada demi menghindari perkosaan, sementara lelaki berlaku bebas terhadap
pikiran-pikirannya? Mengapa kita menyayangkan ketidakmampuan perempuan menjaga
diri dan memaklumi ketidakmampuan lelaki menahan napsunya?
Selain itu, picik juga jika kita berpikir bahwa
perempuan bakal menikmati persetubuhan yang kriminal.
Mungkin dalam perspektif pemerkosa, pada awalnya
ia memaksa persetubuhan lalu merasa nikmat. Tapi dalam perspektif korban tidak
begitu. Tidak ada korban yang menikmati persetubuhan yang kriminal! Yang ada
hanyalah rasa terhina, seseorang datang tanpa cinta, meneror, lalu tanpa
permisi menyetubuhi.
Lantas ukuran kehormatan perempuan yang tidak adil
dalam masyarakat menambah beban psikologis. Korban merasa ia sudah nista dan
hancur. Karena itu, banyak korban memilih lebih baik tutup mulut daripada
berperkara dengan pelaku. Menyuarakan perkosaan dipandang menyebarkan aib yang
tidak hanya bagi korban tapi seluruh keluarga besarnya. Masyarakat mungkin
lebih akan memandang kasihan pada korban daripada bangga ketika korban
memperkarakan perkosaan.
Konsekuensi Kekerasan
Seksual
Hal yang lebih menyedihkan jika korban adalah anak
atau remaja.
Sampai pada usia Yuyun yang empatbelas tahun, anak
dan remaja belum begitu berpengetahuan tentang hymen dan
mengerti benar konsep-konsep keperawanan dalam masyarakat.
Jadi, betapa biadap kekerasan seksual terhadap
anak dan remaja karena pelaku perkosaan hadir untuk membuat mereka lebih dulu
mengerti rasa sakit sebuah persetubuhan yang kriminal sebelum mereka sugguh
berpengetahuan tentang tubuh mereka dan mengerti benar gairah pada lawan jenis.
Korban perkosaan akan terbebani secara psikologis.
Selain itu, visum kasus-kasus perkosaan bakal
menambah rasa hina bagi korban, terutama jika dokter harus menilai tanda-tanda
kejahatan seksual. Apalagi, jika korban harus berhadapan dengan prosedur pemeriksaan
intra-vaginal.
Korban Perkosaan
Lebih Butuh Dukungan Bukan Negative Judgment
Kekerasan seksual akan menimbulkan reaksi-reaksi
traumatis kepada para korban dan kita tidak bisa terlalu yakin waktu mampu
menyembuhkan para korban.
Untuk itu, cinta keluarga dan orang-orang
terdekat, serta dukungan dalam bentuk apapun terhadap korban bakal membantu si
korban secara psikologis, terutama untuk menerima diri mereka, mengubah sudut
pandang mereka bahwa kehormatan mereka tidak praktis lenyap oleh perkosaan, melainkan
mereka masih berhak untuk masa depan yang lebih baik. Termasuk juga, jangan
lagi pelihara pikiran-pikiran picik yang memandang perempuan sebagai pemicu
kejahatan.
Dalam kasus Yuyun, misalnya, mengapa kita harus
menyayangkan ia pulang sekolah seorang diri atau mengapa tidak ada yang
mengantar ia? Ada tuntutan-tuntutan hidup yang memaksa anak empatbelas tahun
harus berlaku mandiri dalam beberapa hal.
Kita sepakat mengutuk biadap para pemerkosa yang
berlaku jahat selagi ada kesempatan. Mereka hanya sekumpulan orang-orang yang
tidak matang pikirannya.
Tapi, tentu saja, kejahatan ada dimana-mana dan
orang harus waspada. Kita memang harus mengambil pelajaran berharga dari
peristiwa ini.
Saya tidak tahu, bagaimana perkosaan bisa
direduksi sementara kejahatan seksual mesti kita maklumi ada di tengah
masyarakat yang heterogen. Mengubah cara pandang lelaki terhadap relasi mereka
dengan perempuan memang bukan perkara mudah.
Tapi saya berharap, suara-suara kutukan terhadap
kejahatan-kejahatan seksual bisa menjadi kampanye nyaring yang membuat lelaki
dan perempuan saling menjaga, dan para korban bisa lebih kuat melalui
penderitaannya tanpa memandang rendah diri mereka sebagai yang nista dan tak
berhak untuk masa depan yang lebih baik.
Dedicated to rape
victims.
Thanks Adelaide
Ratukore dan Yumi Haning for discussion inspiring this writing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar