Puisi Kebun
Ada yang pernah
berkebun sesingkat satu musim panen
Sebelum kemarau
melahap kehijauan yang subur
Di celah palawija,
diam–diam tertitip syukur untuk masa yang tak harus berjumlah
Ada yang menapak
akil balik dalam gelap
Air mata mengembun
membutakan harapan
Esok bagai
mustahil terpijak bagi yang ternista tanpa tiara
Ada yang tak
pernah kenang, tatap pertama pada jumat yang terik
Tapi ada yang diam
– diam menitip syukur pada tanah yang rengkah
Duhai, ada yang
duduk membaca sementara dada telanjang menadah angin
Dunia sungguh
semesta yang labirin
yang kalut melangkah
asal, pasrah pada probabilistik
Betapa dipuja hari
itu
Betapa elok musim
ketika alam hanya bersolek kembang gamal violet
Nasib baik terijin
bagi sua yang bukan sejarah memar
Ada yang pernah
berkebun sesingkat satu musim panen
Sebelum kemarau
melahap kehijauan yang subur
Di celah palawija,
diam–diam tertitip syukur untuk masa yang tak harus berjumlah
Duhai, ada yang seakan
gemar bertelanjang dada
memamer postur
yang perwira
menadah lembab
usai hujan lepas tengah hari
Yang kalut menapak
kebun
menjemput esok
yang riang
Diam – diam ia menitip
gelora pada angin yang wangi petrichor
Oh, betapa aksen
tuan melagu merdu
menerbit rona
sewarna senja
Maka terijinlah
semalam bersama jurnal
bermalam – malam bersama
cerpen Kompas
sampai pena dan
kertas menjadi lenso penyeka duka
Ada yang pernah
berkebun sesingkat satu musim panen
Sebelum kemarau
melahap kehijauan yang subur
Di celah palawija,
diam–diam tertitip syukur untuk masa yang tak harus berjumlah
24 Juni 2013
untuk I.T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar